MUNIR
MILITER
BUKAN MUSUH MUNIR
(Teriakan
seorang militer ketika demonstrasi 1998)
Munir
tidak memusuhi milter. Lewat berbagai upaya, Munir justru mendorong
agar militer semakin kuat dan profesional. Hal itu dia tunjukkan
dengan tuntutan reformasi militer yang mensyaratkan militer memahami
dan menghormati nilai-nilai HAM, tunduk terhadap supremasi sipil dan
prinsip negara hukum, akuntabel, tidak berpolitik juga berbisnis, dan
kompeten dalam menjalankan tugasnya3.
Untuk mewujudkan visi reformasi militer itu, Munir harus berhadapan
dengan banyak sekali militer melalui kasus-kasus yang dia bela.
Pengalaman
pertama Munir berhadapan dengan militer ketika dia menjadi pembela
warga pulau Nipah Madura yang dibunuh oleh militer pada tahun 1993.
Waktu itu dia sedang aktif di LBH Surabaya yang kemudian juga
melakukan pembelaan terhadap 11 teman Marsinah yang diberhentikan
sepihak oleh perusahaan, termasuk juga menjadi pembela keluarga
Marsinah yang dianiaya dan akhirnya meninggal karena militer. Ketika
berkiprah di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan
KontraS sebuah organisasi yang perhatiannya banyak ke persoalan
orang-orang yang dihilangkan, Munir semakin keras menyuarakan Hak
Asasi Manusia (HAM) yang banyak sekali dilanggar oleh militer. Munir
menjadi pembela untuk kasus penghilangan
secara paksa 24 korban aktivis dan mahasiswa 1997 dan 1998, kasus
Tanjung Priok 1984, hingga 1998, penembakan mahasiswa di Semanggi I
(1998) dan Semanggi II (1999), kasus-kasus pelanggaran HAM berat di
Aceh, Lampung, dan Papua (ribuan kasus yang terjadi akibat operasi
militer), menjadi anggota Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Timor
Timur tahun 1999 dan membongkar
kasus penculikan yang dilakukan oleh Danjen Kopassus Prabowo Subianto
dengan Tim Mawarnya yang berujung pencopotan Prabowo dan diadilinya
personel Tim Mawar.4
Semua
kasus yang ditangani Munir tersebut melibatkan militer, maka tak
heran jika banyak orang menganggap Munir memusuhi milter. Tulisan ini
akan menyajikan beberapa bukti bahwa substansi perjuangan Munir
adalah memimpikan militer yang profesional. Bukti-bukti itu akan
menunjukkan tentang pemikiran Munir tentang militer dan militerisme
serta berbagai pembelaan yang Munir lakukan justru kepada militer
atau aparat.
Menolak
Militerisme
Munir
berpendapat bahwa dalam upaya membangun bangsa yang demokratis harus
disertai penolakan atas sifat-sifat militerisme. Melalui tulisannya
berjudul “Membangun Bangsa Dan Menolak Militerisme”5,
Munir menjelaskan ciri dari sifat-sifat militerisme itu ialah,
monolitik, terpusat dan penyanjung utama tindakan kekerasan. Munir
menilai, sifat monolitik, terpusat dan penyanjung utama kekerasan,
itu terdapat pada karakter dan cara kerja pemerintahan rezim orde
baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Sebagai contoh, Soeharto
menerapkan ideologi tunggal Pancasila sebagai satu-satunya ideologi
yang harus dianut oleh semua warganegara. Melalui ideologi tunggal
itu, negara mendapatkan legitimasi sebagai pemilik dan penafsir
tunggal Pancasila. Rakyat sebagai bagian dari kesatuan bangsa, harus
mendukung kekuasaan yang memiliki legitimasi pemilik ideologi
tunggal. Ideologi tunggal menginginkan kestabilan agar kekuasaan bisa
berjalan, maka tidak dimungkinkan adanya perbedaan ataupun oposan.
Untuk mengantisipasi ketidakstabilan yang bisa mengganggu kekuasaan,
instrumen kekerasaan yang sah telah disiapkan melalui aparat negara
yaitu polisi dan militer.
Dalam
sistem negara demokrasi, Munir menganggap reformasi militer adalah
sebuah keharusan. Beberapa hal terkait reformasi militer yang
dilontarkan Munir antara lain pembersihan unsur militer dari jabatan
politik, penghormatan kepada nilai-nilai hak asasi manusia,
profesional dan ahli dalam bidangnya, tunduk pada supremasi sipil dan
prinsip negara hukum, akuntabel, tak berpolitik dan berbisnis6.
Tahun 2004, Munir mengkritik pembahasan UU Nomor 31 Tahun 1997
tentang peradilan militer yang dianggap akan melanggengkan lingkaran
impunitas (pelanggaran tanpa pertanggungjawaban) karena tetap
menempatkan pelanggar pidana umum militer ke dalam peradilan
militer.7
Tahun 2003, Munir dan koalisi masyarakat sipil pernah juga melakukan
protes terhadap RUU TNI yang sedang dibahas. RUU TNI itu masih
mendefinisikan pertahanan dan keamanan sesuai doktrin yang dibuat
dalam seminar angkatan darat tahun 1966 yaitu Tri Ubaya Cakti yang
menganggap ancaman terhadap pertahanan dan keamanan negara adalah
perang ideologi, ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. Prinsipnya,
ancaman tersebut berbentuk infiltrasi ke dalam. Munir berpandangan
seharusnya militer fokus menghadapi ancaman bersenjata bukan masuk ke
dalam ranah kehidupan masyarakat8.
Menurut Usman Hamid, salahsatu partner kerja Munir, apa yang
dilakukan Munir adalah upaya memperbaiki jantungnya
persoalan
militer,
tidak hanya penanganan kasus per kasus, atau militernya sebagai
subjek9.
“Pasal
Munir” Dalam RUU Pertahanan
Munir
memperjuangkan perbaikan kesejahteraan militer melalui advokasi RUU
Pertahanan. Dia adalah salahsatu anggota tim perumus RUU Pertahanan
yang ditunjuk oleh Menteri Pertahanan ketika era Presiden Abdurahman
Wahid alias Gus Dur. Munir
bersikeras, memasukkan pasal mengenai peningkatan kesejahteraan
militer dalam RUU pertahanan itu. Keteguhan Munir dalam memasukkan
pasal itu, membuat banyak rekan kerjanya menyebut pasal itu dengan
sebutan pasal
Munir10.
Munir
mengusahakan militer harus hidup sejahtera, supaya mereka fokus pada
tugas pertahanan negara dan tidak lagi sibuk mencari penghasilan
sampingan. Isu kesejahteraan itu sangat penting bagi Munir karena
banyak sekali muncul konflik yang menggunakan kekerasaan akibat
militer menjadi bekingan
bagi
perusahaan, diskotik, ataupun berbagai kepentingan bisnis.
Keterlibatan anggota militer dalam bisnis pengamanan menimbulkan
benturan tidak hanya dengan warga sipil tapi juga dengan anggota
kepolisian. Benturan antara militer dan kepolisian pernah terjadi di
kota Batam ketika kepolisian menemukan penimbunan ilegal Solar
bersubsidi. Empat orang oknum militer dari Yonif 134/TS ditembak oleh
anggota Brimob Polda Kepulauan Riau pada saat pengerebekan di gudang
penimbunan solar bersubsidi itu11.
Selain itu, Munir juga mengkritisi kasus uang anggota militer yang
disunat
oleh atasannya, seperti contoh uang makan12.
Doktrin kepatuhan anggota kepada atasan, membuat anggota militer yang
disunat
uang makannya, tidak berani untuk melakukan perlawanan.
Kejadian-kejadian seperti itu yang menurut Suciwati, istri Munir,
sangat menjadi keprihatinan Munir13.
Dalam
pembahasan RUU Pertahanan, Munir juga menyoroti dan mengusulkan
perubahan soal hubungan atasan militer dengan bawahan yang cenderung
mengorbankan
bawahan. Munir mendapati banyak sekali atasan militer yang memberikan
perintah kepada bawahan di luar batas kewajaran. Perintah itu
seringkali juga tanpa dokumen tertulis sehingga jika terjadi
kesalahan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara struktural14.
Contohnya adalah keterlibatan militer dalam menangani demonstrasi
mahasiswa 1998. Tidak ada perintah secara tertulis untuk melakukan
penculikan dan penembakan kepada mahasiswa. Namun kenyataan di
lapangan banyak mahasiswa yang diculik dan ada juga yang gugur
tertembak peluru militer15.
Ketika kasus itu digugat dan ditelusuri, hanya para anggota tim Mawar
Kopasus yang dipersalahkan, sehingga para istri tim Mawar itu mengadu
kepada Munir. Prabowo yang diduga keras sebagai pemberi perintah,
tidak mendapatkan hukuman atas kejadian itu, dan hanya diberhentikan
dari jabatannya16.
Oleh karena itu Munir bersikeras agar perintah atasan harus dalam
bentuk surat resmi dan anggota berhak untuk mengajukan keberatan
terkait perintah yang di luar batas kewajaran.
Perjuangan
Munir untuk memperbaiki situasi militer, mendapatkan respon positif
dari anggota militer. Suciwati mengisahkan suatu ketika di sebuah
stasiun kereta api di Jawa Timur, Munir dan Suciwati melihat gerbong
kereta api penuh dengan militer yang akan melakukan perjalanan. Munir
disapa oleh Kepala Stasiun dan diajak masuk ke dalam ruangan.
Suciwati memilih menunggu di luar ruangan. Ketika duduk, Suciwati
didatangi dan disapa oleh komandan dari para militer yang akan naik
kereta itu. Komandan itu membuka obrolan dengan mengatakan “Suami
Anda ini orang hebat, saya berterima kasih dengan beliau”. Obrolan
mengalir, ternyata latar belakang pujian itu terkait dengan
usulan-usulan Munir yang dimasukkan dalam proses pembahasan RUU
Pertahanan.
Melawan
Kekerasan, Bukan Pelakunya
Munir
membenci dan melawan budaya kekerasan, bukan membenci pelakunya. Hal
itu sesuai kesaksian salahsatu
kolega Munir, Ikrar Nusa Bhakti yang menyatakan bahwa Munir
meneladani ajaran Mahatma Gandi, “hate
the sin and not the sinner”17.
Munir sepanjang hidupnya dipenuhi upaya-upaya membongkar kasus
kekerasan yang melibatkan militer baik dari pangkat bintara hingga
perwira. Dari sekian banyak kasus yang ditangani Munir, masih banyak
kasus kekerasaan yang belum berhasil terungkap hingga sekarang.
Target utamanya bukanlah memenjarakan pelaku, tapi membuka tabir
gelap yang menutupi berbagai kasus itu dan memetik pelajaran supaya
militer berubah. Menurut Usman Hamid18,
sahabat Munir mengatakan bahwa Munir berjuang pada jantung persoalan
yaitu nilai antikekerasaan dan bukan hanya kulitnya saja yaitu
pemidanaan pelaku kekerasan. Hal itu yang mendasari Munir tidak
pernah pandang
bulu dalam
melakukan pembelaan. Setidaknya Munir pernah membela para istri
anggota Kopasus yang tergabung dalam tim Mawar yang mengalami tekanan
hidup. Selain itu, Munir juga menerima pengaduan dari istri polisi
yang menjadi korban kekerasan massa ketika sedang melakukan
pengamanan unjukrasa mahasiswa19.
Perjuangan
Belum Selesai
Militer
bukan musuh Munir. Munir justru berharap militer yang kuat dan
profesional dalam menjalankan tugas pertahanan negara. Cita-cita
itulah yang selama ini dibangun oleh Munir dengan mendorong adanya
reformasi militer. Militer akan kuat dan profesional jika personelnya
sejahtera, memiliki pemahaman dan penghormatan terhadap HAM, tunduk
pada supremasi sipil dan lepas dari berbagai kepentingan politik.
Berbagai upaya sudah Munir lakukan, berbagai hasil perubahan telah
dia torehkan walaupun masih jauh dari kata selesai, sayangnya Munir
lebih dulu dilenyapkan.
Munir
sebagai manusia bisa saja dimatikan, tetapi sebagai gagasan,
semangat, dan daya kritis perlawanan, dia semakin berlipat ganda.
Kekerasaan dalam berbagai bentuknya masih menjadi panglima di
Indonesia. Pemerintah atasnama legitimasi negara semakin antikritik
dengan ditandai munculnya Perppu Ormas, militer masuk kembali ke
ranah sipil hingga ke sawah-sawah sebagai penyuluh pertanian20,
militer juga sedang berupaya masuk dalam penanganan ketertiban dan
keamanan dalam negeri melalui RUU Terorisme21,
militer juga masih menjadi alat penguasa politik seperti Gubernur dan
Walikota dalam menjalankan keputusan politik seperti penggusuran22.
Militerisme dalam nilai monolitik yang antikritik sekarang menjelma
dalam UU ITE dan Surat Edaran (SE) Kapolri tentang ujaran kebencian
untuk membungkam suara-suara kritik atau yang berbeda dari
pemerintah23.
Memahami
Munir untuk meneruskan perjuangan yang sudah dia mulai. Memahami
Munir untuk mengetahui jantung persoalan yang harus diperjuangkan.
Memahami Munir untuk menjaga asa bahwa setiap kita bisa membuat
perubahan.
Selesai
Daftar
Referensi
Kasum.
2006. Membangun Bangsa Dan Menolak Militerisme. Sentralisme
Production. Jakarta
http://nasional.kompas.com//read/2014/09/08/1958016/Mengenang.Munir.Mengenangkan.Luka.Sejarah,
diakses 07/09/2017
http://omahmunir.com/archives/85,
diakses 30/08/2017
http://omahmunir.com/archives/38,
diakses 30/08/2017
http://nasional.kompas.com/read/2012/09/07/12370830/Munir.dan.Reformasi.Militer,
diakses 07/09/2017
https://m.tempo.co/read/news/2004/05/31/05543129/muladi-revisi-uu-peradilan-militer-harus-pertimbangkan-uu-pengadilan-ham,
diakses 07/09/2017
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol7713/ruu-tni-mengancam-supremasi-sipil,
diakses 07/09/2017
Wawancara
dengan Usman hamid di kantor Amnesty International Indonesia,
26/07/2017
Wawancara langsung dengan Suciwati di STHI Jentera Jakarta,
28/08/2017
http://www.kontras.org/home/index.php?module=berita&id=277,
diakses 07/09/2017
http://news.liputan6.com/read/2065667/prabowo-dipecat-tak-hormat-ini-jawaban-wiranto,
diakses 07/09/2017
Kliping koran
Kompas koleksi Omah Munir, “Keluarga Polisi Pun Mengadu Ke Kontras”
http://tni.mil.id/view-112024-peran-babinsa-dalam-swasembada-pangan.html,
diakses 07/09/2017
https://news.detik.com/berita/d-3515917/koalisi-lsm-khawatir-pelibatan-tni-di-ruu-terorisme-tumpang-tindih,
diakse 07/09/2017
https://www.bantuanhukum.or.id/web/hentikan-keterlibatan-tni-dalam-penggusuran-paksa/,
diakses 07/09/2017
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20151029195355-12-88290/kapolri-teken-surat-edaran-penanganan-ujaran-kebencian/,
diakses 07/09/2017
1Mahasiswa
penerima beasiswa Munir di STHI Jentera Jakarta
3http://omahmunir.com/archives/85,
diakses 30/08/2017
4http://omahmunir.com/archives/38,
diakses 30/08/2017
5Kasum,
“Membangun Bangsa Dan Menolak Militerisme”, Jejak Pimikiran
Munir (1965 – 2004), 2006: 3-17
6http://nasional.kompas.com/read/2012/09/07/12370830/Munir.dan.Reformasi.Militer,
diakses 07/09/2017
9Wawancara
langsung 26/07/2017
10https://ikrarnusabhakti.wordpress.com/2009/01/04/jalan-panjang-keadilan-munir/,
diakses 07/09/2017
12Wawancara
langsung 28/08/2017
13Id.,
hlm. 2.
14http://www.kontras.org/home/index.php?module=berita&id=277,
diakses 07/09/2017
15Id.
17http://omahmunir.com/archives/85,
diakses 30/08/2017
18Wawancara
langsung 26/07/2017
19Kliping
Kompas koleksi Omah Munir
20http://tni.mil.id/view-112024-peran-babinsa-dalam-swasembada-pangan.html,
diakses 07/09/2017
Komentar
Posting Komentar