BATAS USIA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
BATASAN
USIA DALAM PERUNDANGAN YANG MENGHAMBAT PENDIDIKAN NASIONAL1
Oleh:
Guntoro2
A. Antara Cita-Cita dan
Kenyataan
Salahsatu
cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia yang tercantum dalam preambule
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa. Para pendiri negara Indonesia
menyakini bahwa bangsa yang cerdas akan mampu memajukan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, mutlak diperlukannya
pendidikan bagi para generasi penerus bangsa.
Atas
dasar pentingnya pendidikan bagi para penerus bangsa, UUD NRI tahun
1945 telah mengamanatkan pada pasal 28 C ayat (1) yang berbunyi
“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.** )”, pasal
31 ayat (1) “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan****)”,
dan ayat (2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar
dan pemerintah wajib membiayainya.****). Atas amanat itu kemudian
negara menuangkan ke dalam UU
no.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 9 ayat (1) yang
berbunyi “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran
dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai
dengan minat dan bakatnya.” Melalui UU Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas), Pemerintah Pusat kemudian mencanangkan program wajib
belajar 9 tahun gratis bagi seluruh anak Indonesia. Beberapa daerah
di Indonesia sudah memberlakukan pendidikan gratis hingga jenjang
SMU, salahsatunya DKI Jakarta3.
Meskipun
hak memperoleh pendidikan telah dijamin dalam UUD NRI tahun 1945, UU
No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU Sisdiknas, pada
tahun 2015 Unicef menemukan fakta bahwa 2,5 juta anak Indonesia tidak
bisa melanjutkan pendidikan dengan berbagai alasan salahsatunya
ekonomi.4
Angka anak putus sekolah juga bisa dilihat dari data yang diungkapkan
oleh Badan Peradilan Agama yang menemukan sebanyak 11.212 kasus
pernikahan dini pada tahun 2013 di seluruh Indonesia.5
Alasan bekerja juga menjadi salahsatu penyebab putus sekolah. Hal ini
terungkap dari data BPS tahun 2009 yang menyebutkan bahwa “dari
jumlah keseluruhan anak berusia 5-17, sekitar 58,8 juta, 4,05 juta
atau 6,9 persen di antaranya termasuk dalam kategori anak yang
bekerja”.6
Faktor lain, kasus anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) juga ikut
menyumbang pada angka putus sekolah. Menteri Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak (PP-PA) Yohana Susana Yembise mengungkap data
pada maret 2015 terdapat sebanyak 3.559 anak yang menghuni lapas
akibat berhadapan dengan hukum.7
Yang tak kalah memilukan juga adalah data yang disampaikan oleh WHO
bahwa setiap hari ada 1.000 remaja meninggal dunia akibat kecelakaan
lalu lintas.8
Data itu bisa bisa diartikan bahwa setiap hari minimal ada 1.000
remaja yang putus sekolah akibat meninggal karena kecelakaan lalu
lintas.
Tulisan
ini mencoba melihat hubungan antara fakta anak putus sekolah di atas
dengan batasan usia dalam perundangan yang mengatur terkait
perkawinan, ketenagakerjaan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan
lalu lintas jalan.
B. Batas Usia Dalam
Perundangan
1.
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-undang
itu mengatur hal-hal yang terkait dengan perkawinan termasuk batasan
usia minimal untuk mendaftarkan perkawinan. Pasal 7 ayat (1)
mengatakan “Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai
umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia
16 (enam belas) tahun”. Batasan minimal 16 tahun bagi wanita itu
juga dipertegas dengan putusan Mahkamah Konstitusi dengan perkara
nomor 30/PUU-XII/2014 dan perkara nomor 74/PUU-XII/2014 terkait
gugatan Yayasan Kesehatan Perempuan dan Yayasan Pemantauan Hak Anak
untuk batas usia ditingkatkan dari 16 tahun menjadi 18 tahun.9
Batas minimal usia 19 tahun bagi pria adalah usia di mana telah
menyelesaikan hingga tingkat SMU. Namun jika kita cermati batas usia
minimal bagi wanita yaitu 16 tahun, usia itu masih dalam tingkatan
kelas 1 SMU. Pasal ini sangat rentan bagi wanita untuk putus sekolah
dengan alasan perkawinan.
2.
UU
No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Pada
pasal 68 dalam undang-undang itu disebutkan bahwa pengusaha dilarang
mempekerjakan anak. Pada pasal itu sudah sangat tegas bahwa anak
tidak boleh bekerja atau menjadi pekerja. Namun, pasal 68 itu seakan
dimentahkan dengan pasal berikutnya, yaitu pasal 69 ayat 1 yang
berbunyi “Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak
berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas)
tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu
perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.” Kemudian
pada ayat selanjutnya masih di pasal yang sama, diatur syarat untuk
mempekerjakan anak di antaranya harus mendapatkan izin orang tua, ada
surat perjanjian kerja antara pengusaha dan orang tua anak dan waktu
kerja dilakukan di siang hari sehingga tidak menganggu kegiatan
sekolah. Sulit dibayangkan anak seumur 13-15 tahun harus menjalani 2
kegiatan yang melelahkan yaitu bersekolah dan bekerja. Andaipun bisa
dilakukan, apakah jaminannya bahwa kegiatan bekerja anak tidak
menganggu proses belajarnya. Patut diduga undang-undang ini ikut
menyumbang pada besarnya jumlah pekerja anak yang juga menyumbang
pada tingginya angka anak putus sekolah.
3.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Pada
pasal 45 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan usia belum dewasa
adalah usia sebelum 16 tahun, yang artinya usia 16 tahun sudah
digolongkan usia dewasa. Jika usia anak yang berhadapan dengan hukum
di bawah 16 tahun maka hakim dapat menentukan putusan salahsatunya
supaya anak dikembalikan kepada orang tuanya alias tidak ditahan.
Namun jika sudah berusia 16 tahun maka diterapkan sistem peradilan
dan pidana seperti orang dewasa pada umumnya. Usia 16 tahun adalah
usia di mana seseorang sedang menjalani pendidikan di tingkat SMU
kelas 1. Jika seseorang yang berumur 16 tahun dan mendapatkan vonis
penjara maka dia secara otomatis akan berhenti dari sekolahnya untuk
menjalani hukuman. Namun batasan usia ini terjadi perbedaan dengan UU
no. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam
undang-undang itu diatur bahwa batas minimum usia dewasa adalah 18
tahun. Perbedaan penentuan batasan usia dewasa itu akan menimbulkan
kebingungan dan ketidakpastian hukum di proses peradilan.
4.
PP
No. 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi
Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang prasyarat kelaikan kendaraan dan pengemudinya. Salahsatu yang menjadi syarat pengemudi untuk dapat menjalankan kendaraan adalah memiliki surat izin mengemudi atau disingkat SIM. Tulisan ini hanya akan menyoroti terkait syarat pembuatan SIM bagi pengemudi, khususnya di soal batas usia minimal. Pada pasal 217 disebutkan bahwa salahsatu syarat untuk membuat SIM C adalah minimal berusia 16 tahun. Seperti yang sudah dibahas pada paragraf sebelumnya, usia 16 tahun adalah masa di mana seseorang sedang menempuh pendidikan di tingkat SMU kelas 1. Menurut UU Perlindungan anak, usia 16 tahun masih tergolong anak yang masih perlu mendapat bimbingan dan perlindungan. Namun karena PP nomor 44 tahun 1993 telah membolehkan seseorang yang berusia 16 tahun memiliki SIM C maka yang bersangkutan bisa mengendarai kendaraan. Kecelakaan lalu lintas pada usia remaja atau anak-anak memang bukan hanya yang memiliki SIM atau berusia16 tahun, tapi banyak juga yang belum memiliki SIM. Akantetapi, dengan adanya legalisasi kepemilikan SIM C di usia 16 tahun, bisa diartikan bahwa PP 44 tahun 1993 ikut menyumbang pada kecelakaan anak, kematian anak dan tingginya angka putus sekolah.
C.
Usia Pendidikan Sebagai Acuan Dasar
Berdasar
tingginya angka anak putus sekolah yang disebabkan faktor bekerja,
perkawinan, berhadapan dengan hukum, kematian akibat kecelakaan lalu
lintas dan dikaitkan dengan perbedaan batasan usia dalam peraturan
perundangan yang mengaturnya, maka dapat kita simpulkan:
a)
Kebijakan negara masih belum bisa menjamin anak mendapatkan
pendidikan dengan seutuhnya.
b)
Pendidikan masih belum menjadi pertimbangan utama ketika kebijakan
disusun khususnya yang menyangkut anak-anak.
c)
Belum adanya aturan baku terkait batasan usia dalam pembuatan
kebijakan.
Oleh
karena itu, penting sekali negara segera menetapkan aturan baku
batasan usia dalam hukum dan berbagai sektor agar terjadi kesesuaian
paham dan regulasi. Penetapan kesamaan batasan usia harus menempatkan
pendidikan sebagai faktor penentu utama agar dapat menjamin proses
pembelajaran dan kematangan seorang anak.
1 Makalah
disusun sebagai tugas mata kuliah Sistem Hukum Indonesia
2 Mahasiswa
STIH Jentera angkatan 2016
6 http://www.ilo.org/jakarta/info/public/pr/WCMS_122351/lang—en/index.htm,
diakses 09/10/2016
7 http://kalteng.prokal.co/read/news/19046-jumlah-anak-penghuni-lapas-meningkat,
diakses 09/10/2016
9 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=11160#.V_lAEVR97IU,
diakses 09/10/2016
Komentar
Posting Komentar