JUDICIAL REVIEW UU INTELEJEN

Putusan MK Terkait Judicial Review UU Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Intelejen



Dasar pemikiran dibentuknya UU nomor 17 tahun 2011 tentang intelejen bisa kita lacak dalam naskah akademiknya. Secara garis besar setidaknya ada dua hal yang mendasari munculnya UU Intelejen yaitu kewaspadaan dan kemananan. Kewaspadaan dijelaskan sebagai sebuah sikap, naluri dan tindakan berhati-hati, mengumpulkan informasi selengkap mungkin untuk menghindari, mencegah dan mengantisipasi potensi bahaya, kejahatan atau kerugian di kemudian hari. Kewaspadaan itu stratanya sejak dalam diri (karunia) hingga ke level nasional atau kehidupan bernegara. Upaya-upaya kewaspadaan sistematik dan terstruktur pada level negara sangat dibutuhkan untuk mewujudkan cita-cita bangsa yang melindungi segenap warganegara. Hal itu kemudian erat kaitannya dengan keamanan negara. Bisa diartikan kewaspadaan nasional bertujuan untuk melindungi keamanan negara yang lebih spesifik lagi untuk melindungi keamanan warga negara sebagai bentuk kewajiban negara terhadap warganya.

Sistem keamanan negara disusun secara sistematis untuk mencegah berbagai ancaman yang terus berkembang. Jika jaman perebutan kemerdekaan ancaman lebih banyak muncul dari negara asing yang berusaha menguasai negara Indonesia, sedangkan sekarang bentuk-bentuk ancaman berkembang mulai dari terorisme, ekonomi, politik, budaya yang menyusup dan meyerang lebih halus salahsatunya melalui teknologi internet. Perkembangan itulah yang mendorong sistem intelejen Indonesia mesti menyesuaikan perubahan dan mampu menangkap berbagai potensi ancaman.

Di sisi lain, penguasa negara atasnama keamanan nasional seringkali menggunakan kekuasaannya dengan melakukan pelanggaran hak asasi manusia, dan nilai-nilai demokrasi. Sebut saja Kasus Tanjung Priuk, Talangsari, Reformasi dan pembunuhan Munir yang hingga sekarang belum tuntas penyelesaiannya. Dengan kekuasaannya, BIN (Badan Intelejen Negara) dengan leluasa menfasir arti ancaman nasional demi keamanan negara. Oleh karena perlu adanya undang-undang yang mengatur bagaimana intelejen negara bekerja dan batas-batas kewenangannya supaya tidak bertabrakan dengan nilai-nilai hak asasi manusia dan demokrasi.

RUU Intelejen melalui perdebatan alot disertai protes dari kalangan masyarakat sipil karena beberapa bagian isinya yang multitafsir dan memberikan kewenangan yang berlebih. Kalangan masyarakat sipil khawatir kejadian masa lalu penyalahgunaan wewenang intelejen terulang kembali. Tujuan utama kegiatan intelejen untuk melindungi seluruh warganegara dikhawatirkan justru digunakan oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Hingga akhirnya dengan berbagai kontroversi yang mengikuti, RUU intelejen disahkan oleh DPR sebagai UU nomor 17 tahun 2011 tentang intelejen.

Kalangan masyarakat sipil yang keberatan kemudian mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan beberapa pasal atau bagian. Mereka yang mengajukan adalah NGO Imparsial, Elsam, YLBHI, Perkumpulan Masyarakat Setara, AJI, dan individu Mugiyanto, Hendrik Dikson Sirait, Asiah, Dorus Wakum, Abd Washir, Suciwati, Bedjo Untung, Edi Arsadad, Rizal Darma Putra, Haris Azhar, Choirul Anam, Ullin Ni’am Yusron dan Mariam Ananda. Para pemohon itu memberikan kuasa kepada 29 Advokat salahsatunya adalah Todung Mulya Lubis untuk beracara di Mahkamah Konstitusi. Pokok permohonan yang diajukan para pemohon meliputi:

1. Pasal 1 ayat (8), Pasal 4, serta Pasal 6 ayat (3) UU Intelijen Negara, sepanjang frasa “dan/atau Pihak lawan Yang merugikan kepentingan dan keamanan nasional”.
Pemohon mendalilkan frasa tersebut terdapat ketidakjelasan rumusan dan definisi yang dapat berpotensi disalahgunakan secara sewenang-wenang. Pasal tersebut secara materiil bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UU Intelijen Negara “Negara Indonesia adalah negara hukum” dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.**)


2. Pasal 1 ayat (6) UU Intelijen Negara “Rahasia Intelijen adalah informasi, benda, personel, dan/atau upaya, pekerjaan, kegiatan Intelijen yang dilindungi kerahasiaannya agar tidak dapat diakses,
tidak dapat diketahui, dan tidak dapat dimiliki oleh pihak yang tidak berhak”

Menurut pemohon, pasal ini bersifat sangat umum dan luas sehingga bisa disalahgunakan untuk melindungi mereka yang berpotensi menciderai jaminan konstitusional atasnama rahasia intelejen. Pasal 1 ayat (6) tersebut bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.** )

3. Pasal 22 ayat (1) UU Intelijen Negara
“Perekrutan sumber daya manusia Intelijen Negara terdiri atas:
a. Badan Intelijen Negara berasal dari lulusan Sekolah Tinggi Intelijen Negara, penyelenggara Intelijen Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, serta perseorangan yang memenuhi persyaratan; dan

b. penyelenggara Intelijen Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b, huruf c, huruf d,
dan huruf e berasal dari pegawai negeri di masingmasing penyelenggara Intelijen Negara.”

Pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum karena adanya dualisme komando dan garis pelaporan intelejen. Hal itu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.**)

4. Pasal 25 ayat (2) UU Intelijen Negara “ Rahasia Intelijen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikategorikan dapat:
a. membahayakan pertahanan dan keamanan negara;
b. mengungkapkan kekayaan alam Indonesia yang masuk dalam kategori dilindungi kerahasiaannya;
c. merugikan ketahanan ekonomi nasional;
d. merugikan kepentingan politik luar negeri dan hubungan luar negeri;
e. mengungkapkan memorandum atau surat yang menurut sifatnya perlu dirahasiakan;
f. membahayakan sistem Intelijen Negara;
g. membahayakan akses, agen, dan sumber yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi Intelijen;
h. membahayakan keselamatan Personel Intelijen Negara; atau
i. mengungkapkan rencana dan pelaksanaan yang berkaitan dengan penyelenggaraan fungsi Intelijen.”

Menurut pemohon pasal tersebut melanggar Pasal 28F UUD 1945 “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.** )”
karena hal-hal
yang dikategorikan sebagai rahasia intelijen masih bersifat kabur, tidak jelas (obscure) dan masih bersifat umum. Hal itu berpotensi melanggar hak berkomunikasi dan memperoleh informasi para pemohon.

5. Pasal 26 “ Setiap Orang atau badan hukum dilarang membuka dan/atau membocorkan Rahasia Intelijen”, Juncto Pasal 44 “Setiap Orang yang dengan sengaja mencuri, membuka, dan/atau membocorkan Rahasia Intelijen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan Pasal 45 “ Setiap Orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan
bocornya Rahasia Intelijen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”.

Para pemohon menyebutkan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia adalah negara hukum.***)” dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.**)”. Pasal 26 Juncto pasal 44 dan pasal 45 dirumuskan secara samar-samar dan tidak dirumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana, serta pengertiannya terlalu luas dan rumit. Sehingga berpotensi disalahgunakan oleh penguasa karena pasal tersebut bersifat lentur, subjektif, dan sangat tergantung interpretasi penguasa.

6. Pasal 29 huruf d
“membuat rekomendasi yang berkaitan dengan orang dan/atau lembaga asing;” dan Penjelasan Pasal 29 huruf d “Rekomendasi berisi persetujuan atau penolakan terhadap
orang dan/atau lembaga asing tertentu yang akan menjadi warga negara Indonesia, menetap, berkunjung, bekerja, meneliti, belajar, atau mendirikan perwakilan di Indonesia dan terhadap transaksi keuangan yang berpotensi mengancam keamanan serta kepentingan nasional.”

Para pemohon mendalilkan pasal tersebut dapat merugikan hak-hak konstitusional warga negara pada umumnya, seperti pembatasan terhadap akses pengetahuan, sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.** )”

7. Pasal 31 “Selain wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Badan Intelijen Negara memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap Sasaran yang terkait dengan:
a. kegiatan yang mengancam kepentingan dan keamanan nasional meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, dan sektor kehidupan masyarakat lainnya, termasuk pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup; dan/atau
b. kegiatan terorisme, separatisme, spionase, dan sabotase yang mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional, termasuk yang sedang menjalani proses hukum.”

juncto Pasal 34
“ (1) Penggalian informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dilakukan dengan ketentuan:
a. untuk penyelenggaraan fungsi Intelijen;
b. atas perintah Kepala Badan Intelijen Negara;
c. tanpa melakukan penangkapan dan/atau penahanan; dan
d. bekerja sama dengan penegak hukum terkait.
(2) Dalam melakukan penggalian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penegak hukum terkait wajib membantu Badan Intelijen Negara.” juncto Penjelasan Pasal 34 “Yang dimaksud dengan “penggalian informasi” adalah upaya terakhir untuk mendapatkan informasi lebih lengkap dan akurat sebagai tindak lanjut dari informasi yang diperoleh sebelumnya, antara lain melalui pengintaian, penjejakan, pengawasan, penyurupan, pemeriksaan aliran dana, atau penyadapan.”

Para pemohon memandang pasal Pasal 31 juncto Pasal 34 juncto Penjelasan Pasal 34 UU intelejen Negara tentang “penggalian informasi” dirasa terlampau luas pengertiannya dan multi-tafsir sehingga akan menimbulkan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh aparat intelijen sehingga oleh para Pemohon dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia adalah negara hukum.***)” dan Pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.**).”

8. Pasal 32 sepanjang frasa “Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah Undang-Undang ini”.

Para pemohon memandang pasal tersebut telah melahirkan suatu bentuk ketidakpastian hukum, sebab secara konstitusional, Mahkamah Konstitusi menghendaki adanya sentralisasi pengaturan tentang tata cara penyadapan, dan keseluruhan aspek yang terkait dengan penyadapan
sehingga oleh para Pemohon dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat (3)
“Negara Indonesia adalah negara hukum.***)” dan Pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.**)”.

9. Pasal 36 “(1) Kepala Badan Intelijen Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (2) Untuk mengangkat Kepala Badan Intelijen Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden mengusulkan 1 (satu) orang calon untuk mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (3) Pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia terhadap calon Kepala Badan Intelijen Negara yang dipilih oleh Presiden disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja, tidak termasuk masa reses, terhitung sejak permohonan pertimbangan calon Kepala Badan Intelijen Negara diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Para pemohon mendalilkan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 17 UUD 1945 tentang kewenangan Presiden untuk mengangkat menteri atau pejabat setingkat menteri yang merupakan hak prerogatif Presiden.





























Komentar

Postingan populer dari blog ini

REVIEW BUKU "MENUJU GERBANG KEMERDEKAAN"

DI/TII

MUNIR