MAKALAH DPR DAN BAWASLU

PERAN DPR DALAM PEMILIHAN ANGGOTA BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM (BAWASLU) DAN PENGARUHNYA TERHADAP INDEPENDENSI KELEMBAGAAN
















OLEH:
GUNTORO














DISUSUN UNTUK UJIAN AKHIR SEMESTER
SEKOLAH TINGGI HUKUM INDONESIA JENTERA
JAKARTA




2017


BAB I
PENDAHULUAN


I.1. LATAR BELAKANG
DPR mengirimkan nota keberatan pencekalan Setya Novanto ke Presiden Joko Widodo. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga independen yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun”1.


Petikan berita di atas diambil dari halaman detik.com menyoal pencekalan Setya Novanto yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus korupsi E-KTP. Ketua DPR RI Setya Novanto terbelit skandal korupsi E-KTP yang sedang ditangani oleh KPK. Tak terima dengan pencekalan yang dilakukan KPK, DPR mengirimkan surat nota keberatan kepada presiden. Hingga penelitian ini disusun, kasus itu belum selesai. Bahkan DPR nekat menggulirkan hak angket untuk menyelidiki KPK terkait rekaman Miryam salahsatu terduga korupsi kasus yang sama dengan Setya Novanto. Walaupun belakangan proses hak angket ini menguap begitu saja setelah banyak fraksi tidak mengirimkan wakilnya dalam rapat. Banyak pihak menilai langkah-langkah yang dilakukan DPR merespon kasus E-KTP sebagai langkah politis yang berusaha mengintervensi kerja KPK.
Konflik yang terjadi antara DPR dan KPK adalah salahsatu contoh benturan antar kelembagaan negara. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mencatat terdapat 7 lembaga Kesekretarian Negara, 34 lembaga kementerian, 4 lembaga setingkat menteri, 28 lembaga pemerintah non kementerian (LPNK), dan 88 lembaga non struktural (State auxiliary Bodies) 2.
Jika menggunakan salahsatu pengertian yang digunakan Jimly Ashiddiqie dalam penggolongan lembaga negara maka bisa digunakan arti sempit yaitu lembaga tinggi negara atau lembaga utama (
main’s organ) karena pembentukannya diamanatkan secara langsung di dalam UUD 1945 amandemen. Lembaga tinggi negara tersebut ialah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Kepresidenan, Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA). Sedangkan Lembaga penunjang atau disebut State Auxiliary Bodies contohnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan masih banyak lagi yang karena terbentuknya berdasarkan undang-undang3.
Masing-masing lembaga tersebut tentu memiliki peran, fungsi dan kedudukannya masing-masing dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Pembentukan komisi dalam kategori state auxiliary bodies bertujuan mendelegasikan peran presiden atau pemerintah dalam menjalankan urusan pemerintahan tertentu yang diamanatkan dalam undang-undang. Hal itu juga banyak terjadi di negara lain seperti Amerika Latin. Pendelegasian bertujuan untuk mengurangi atau mengendalikan campur tangan presiden dalam suatu urusan tertentu. Sehingga lembaga-lembaga tersebut diharapkan bisa independen tanpa campur tangan kekuasaan4.
Lembaga penunjang karena diamanatkan dalam undang-undang maka tugas utamanya adalah sebagai pelaksana undang-undang. Pelaksanaan yang diatur dalam undang-undang dalam urusan tertentu membuat beberapa lembaga penunjang itu memiliki peran eksekutif merangkap legislatif (tentu dengan cakupan yang lebih sempit) dan merangkap juga yudikatif (dengan cakupan yang lebih khusus). Sebut saja seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai eksekutif penyelenggara pemilihan umum namun juga memiliki kewenangan membuat peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dalam mengatur penyelenggaraan pemilu yang belum diatur dalam undang-undang. Contoh eksekutif merangkap yudikatif seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang memiliki wewenang mengadili dan memutus sengketa persaingan usaha.
Bercampurnya kewenangan tersebut, tentu tidak sejalan dengan doktrin pemisahan kekuasaan (trias politica). Namun cita-cita reformasi yang menginginkan adanya independensi lembaga-lembaga negara dari kepentingan politik dan kondisi bernegara yang semakin kompleks maka segala inovasi menjadi kebutuhan. Meskipun dibentuk dengan independensinya namun beberapa hal masih terikat dengan DPR sebagai contoh KPU mengajukan uji materi pasal 9 UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. KPU tidak setuju jika keputusan Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang diselenggarakan di DPR bersifat mengikat dalam pembuatan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). KPU menginginkan bisa membuat peraturannya secara mandiri dan independen tanpa harus terikat dengan keputusan RDP. Di sisi lain, DPR merasa bahwa mereka memiliki kewenangan untuk mengawal KPU dalam melaksanakan undang-undang. Supaya KPU tidak membuat keputusan yang melenceng dari undang-undang maka keputusannya perlu dibicarakan di Rapat Dengar Pendapat5.
Terkait keputusan RDP yang mengikat terhadap PKPU, itu juga berlaku bagi Bawaslu. Lembaga pengawas penyelenggaraan pemilu itu juga harus mengikuti keputusan RDP di DPR dalam membuat peraturan Bawaslu. Peran KPU dan Bawaslu yang memiliki tanggungjawab penyelenggaraan pemilu sangat berkaitan dengan partai politik sebagai peserta pemilu. Anggota DPR yang juga sebagai anggota partai politik memiliki kepentingan terkait KPU dan Bawaslu. Namun karena peraturan yang dibuat oleh KPU dan Bawaslu mesti mengacu pada keputusan RDP maka hal itu dikhawatirkan menganggu independensi kedua lembaga penyelenggara pemilu tersebut. Apalagi pemilihan komisioner KPU dan Bawaslu dipilih oleh DPR komisi II setelah diajukan oleh Presiden melalui panitia seleksi (Pansel).
Secara singkat, KPU dan Bawaslu yang tugasnya menjadi panitia pemilu dari partai politik yang menjadi peserta pemilu, dipilih oleh anggota DPR yang notabene adalah anggota partai politik juga. Oleh larena itu penelitian ini ingin menggali lebih jauh keterkaitan itu namun akan difokuskan kepada salahsatu lembaga saja yaitu Bawaslu.


I.2. PERTANYAAN PENELITIAN
Dari latar belakang di atas maka penelitian ini akan fokus pada:
  1. Bagaimanakah pengaturan mengenai seleksi anggota lembaga penyelenggara pemilihan umum, khususnya Badan Pengawas Pemilhan Umum (Bawaslu)?
  2. Seberapa efektifkah mekanisme seleksi anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dalam menjaga netralitas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)?


I.3. TUJUAN PENELITIAN
Dari rumusan pertanyaan penelitian di atas maka, penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
  1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan mengenai seleksi anggota lembaga penyelenggara pemilihan umum, khususnya badan pengawas pemilihan umum (Bawaslu)
  2. Untuk mengetahui efektifitas mengenai seleksi anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dalam menjaga netralitas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)


I.4. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian menggunakan metodologi telaah produk hukum dan kepustakaan yang terkait dengan topik dalam penelitian ini. Telaah produk hukum dan kepustakaan itu melihat secara lebih detail kedudukan masing-masing lembaga dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang kemudian disambungkan dengan doktrin tata negara yang banyak menjadi acuan.
Dari hasil telaah produk hukum dan kepustakaan itu kemudian dibandingkan dengan data hasil wawancara dengan salahsatu anggota Bawaslu dan berbagai kasus yang pernah terjadi dengan lembaga sejenis. Kasus-kasus itu dikumpulkan dari berita di media massa online untuk dilihat keterkaitannya dengan sesama lembaga penunjang khususnya Bawaslu.
I.5. HIPOTESIS
Peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pemilihan anggota lembaga penyelenggara pemilihan umum khususnya Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) perlu ditinjau ulang karena mempengaruhi independensi Bawaslu.




































BAB 1I
KAJIAN PUSTAKA


II.1. TRIAS POLITICA
Salahsatu ciri utama negara hukum adalah adanya pembatasan kekuasaan. Pembatasan itu dilakukan karena dalam sejarah negara klasik kekuasaan dipegang secara absolut oleh raja atau ratu yang berkuasa secara turun temurun. Bahkan dalam negara teokrasi kekuasaan raja bertambah kuat karena perintah raja adalah perintah Tuhan. Sebagai contoh adalah peradaban mesir, Cina, India dan Romawi kuno. Raja dianggap utusan Tuhan di dunia yang segala perintah dan kehendaknya harus dipatuhi oleh seluruh rakyat. Kekuasaan absolut itulah yang cenderung sewenang-wenang dan melanggar hak-hak warga negaranya. Oleh karena itu diadakan pembatasan kekuasaan dan pada mulanya memisahkan antara kekuasaan raja dan gereja atau Tuhan dengan gerakan sekulerisme.
Pada perkembangannya pemisahan kekuasaan tidak hanya memisahkan kekuasaan raja dan gereja, namun juga memisahkan kekuasaan di internal pelaksana kekuasaan. Doktrin yang paling berpengaruh adalah trias politica oleh Montesquieu6. Konsep trias politica-nya Montesquieu sebenarnya terpengaruh atas pendapat John Locke yang mengatakan bahwa kekuasaan untuk menetapkan hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya. Dia kemudian menggagas adanya pemisahan kekuasaan menjadi tiga fungsi yaitu pembuat undang-undang, pelaksana undang-undang dan yang mengadili atas pelanggaran terhadap undang-undang. Ketiga fungsi itu yang kemudian disebut sebagai kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif.
Untuk membatasi pengertian pemisahan kekuasaan (separation of power) G.Marshall7 membedakan ke dalam 5 aspek yaitu:
1) differentiation;
2) legal incompatibility of office holding;
3) isolation, immunity, independence;
4) checks and balances;
5) co-ordinate status and lack of accountability


pertama, pemisahan kekuasaan membedakan fungsi pembuatan undang-undang, pelaksana undang-undang dan fungsi pengadilan untuk menegakkan undang-undang. Kedua, tidak boleh adanya rangkap jabatan di antara ketiga fungsi tersebut. Ketiga, antarfungsi atau organ tidak boleh adanya saling intervensi agar prinsip independensi dapat dijaga. Keempat, walaupun memiliki hak independensi namun supaya tidak adanya penyalahgunaan wewenang maka diperlukan adanya saling mengimbangi kekuatan dan mengendalikan antarorgan. Kelima, antar lembaga memiliki kesederajatan dan hubungannya bersifat coordinatif.
Indonesia pada era orde baru tidak menerapkan pemisahan kekuasaan namun pembagian kekuasaan (division of power)8. Memang terjadi pemisahan secara kelembagaan dengan adanya DPR dan MPR sebagai lembaga legislatif, adanya pemerintah sebagai eksekutif dan adanya kehakiman sebagai lembaga yudikatif. Namun dalam kewenangan fungsi adalah pembagian kekuasaan. Hal itu termaktub dalam UUD 1945 (sebelum amandemen) dinyatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan diberikan kepada MPR selaku lembaga tertinggi negara. Presiden dipilih, diangkat dan diberhentikan oleh MPR. Itu berarti pertanggungjawaban Presiden kepada MPR. Hubungan MPR dengan presiden selaku eksekutif bersifat subordinatif. Soeharto yang memiliki suara mayoritas melalui partai Golkar dan berbagai fraksi di DPR menjadi sangat dominan dalam mempengaruhi lembaga lain seperti DPR dan Yudikatif. Maka tidak heran, Soeharto dapat menjadi presiden selama 32 tahun.
Reformasi 1998 membawa semangat yang besar dalam mengubah berbagai aspek ketatanegaraan di Indonesia. Semangat ini dilatarbelakangi kondisi orde baru yang otoritarian dan korup. Dengan jatuhnya Soeharto dimulailah berbagai reformasi salahsatunya adalah reformasi konstitusi dengan mengamandemen UUD 1945. Perubahan konstitusi membawa dampak besar pada lanskap ketatanegaraan Indonesia. Dalam UUD 1945 tidak mengenal lagi lembaga tertinggi negara seperti pengaturan di UUD 1945 yang pertama. Lembaga negara di UUD 1945 amandemen diatur setara atau coordinatif. Sistem kekuasaan berubah dari pembagian kekuasaan (division of power) menjadi pemisahan kekuasaan (separation of power) seperti yang didoktrinkan dalam trias politica. Kekuasaan DPR yang sebelumnya lemah dikembalikan lagi dengan ditegaskannya kewenangan pembuatan undang-undang. Begitu pula sebaliknya presiden bukanlah mandatoris MPR karena presiden dipilih langsung oleh rakyat. Secara garis besar, trias politica setelah terwujud dalam DPR sebagai legislatif, presiden sebagai eksekutif dan Mahkamah Agung sebagai Yudikatif. Ketiganya tidak bisa saling mengintervensi namun masih bisa mengendalikan seperti prinsip yang disampaikan oleh G. Marshall. Sebagai contoh undang-undang produk DPR masih bisa dianulir melalui keputusan Mahkamah Konstitusi melalu mekanisme Peninjauan Kembali (PK).
II.2. STATE AUXILIARY BODIES (LEMBAGA PENUNJANG)
Amandemen UUD 1945 tidak hanya mengubah sistem kekuasaan namun juga menumbuhkan banyak sekali lembaga negara baru. Lembaga-lembaga itu ada yang secara jelas teramanatkan dalam UUD 1945 amandemen seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Komisi Yudisial. Ada juga lembaga baru yang terbentuknya berdasarkan undang-undang. Setidaknya hingga 2013 ada 88 lembaga baru berdasarkan undang-undang, contohnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Pembentukan berbagai lembaga negara itu terbagi atas peran dan fungsi tertentu yang dibutuhkan dalam berbagai kepentingan jalannya kenegaraan. Selain itu, pembentukan lembaga baru itu diharapkan dapat menjawab keinginan publik atas independensi suatu lembaga negara. Secara sederhana lembaga-lembaga tersebut terbagi menjadi main state’s organ9 atau lembaga utama karena diamanatkan secara langsung di UUD 1945 amandemen dan State auxiliary bodies (SAB) atau lembaga penunjang karena dasar pembentukannya diamanatkan melalui undang-undang tertentu. Lembaga penunjang (SAB) itu memiliki fungsi dan tujuan tertentu untuk menjalankan amanat undang-undang.
Kemunculan berbagai lembaga penunjang dilatarbelakangi berbagai hal10:
  1. Negara mengalami perkembangan di mana kehidupan ekonomi dan sosial menjadi sangat
    kompleks yang mengakibatkan badan eksekutif mengatur hampir seluruh kehidupan masyarakat.
  2. Hampir semua negara modern mempunyai tujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya yang berkonsep negara kesejahteraan (Welfare State). Untuk mencapai tujuan tersebut negara dituntut menjalankan fungsi secara tepat, cepat dan komprehensif dari semua lembaga negara yang ada.
  3. Adanya keadaan dan kebutuhan yang nyata, baik karena faktor-faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya di tengah dinamika gelombang pengaruh globalisme versus lokalisme yang semakin komplek mengakibatkan variasi struktur dan fungsi organisasi dan institusi-institusi kenegaraan semakin berkembang.
  4. Terjadinya transisi demokrasi, yang mengakibatkan terjadinya berbagai kesulitan ekonomi, dikarenakan terjadinya aneka perubahan sosial dan ekonomi. Negara yang mengalami perubahan sosial dan ekonomi memaksa banyak negara melakukan eksperimentasi kelembagaan (institutional experimentation).
Lembaga penunjang, oleh Alder11 disebut sebagai lembaga Non-departement bodies, public agencies, commissions, board dan authorities. Oleh karena itu, lembaga-lembaga tersebut memiliki fungsi campuran jika didudukan dalam konsep trias politica. Dalam konsep pemisahan kekuasaan antarfungsi dibedakan secara tegas antara fungsi legislatif, penganggaran dan pengawasan. Namun lembaga penunjang melewati batas-batas itu. Lembaga penunjang memiliki fungsi sebagai pelaksana undang-undang (dalam hal ini masuk dalam eksekutif), namun juga memiliki kewenangan untuk membuat aturan-aturan yang dibutuhkan (fungsi legislatif). Karena ketidaktegasan kedudukan dalam 3 pilar kekuasaan, ada pendapat dari Yves Meny dan Andrew Knapp12 sebagai berikut:
Regulatory and monitoring bodies are a new type of autonomous administration wihich has been most widely developed in the United States (where it is sometimes referred to as the 'headless fourth branch' of the governement). It take the form of what are generally known as Independent Regulatory Commissions.

Mereka menyebut lembaga penunjang sebagai cabang keempat dari
trias politica karena lembaga penunjang memiliki fungsi campuran dari fungsi cabang kekuasaan yang lain.
Di bawah ini adalah contoh lembaga penunjang dengan fungsi pembentukannya:
a. Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Badan ini dibentuk dan diatur melalui UU nomor 15 tahun 2011. KPU memiliki tugas untuk menyelenggarakan pemilihan umum. Secara fungsi, KPU adalah pelaksana undang-undang (ekesekutif) sebagai panitia dalam penyelenggaran pemilu. Namun KPU juga memiliki kewenangan untuk membuat Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) untuk mengjatur jalannya pemilihan yang belum diatur dalam undang-undang atau peraturan di bawahnya. Maka secara fungsi, KPU memiliki fungsi campuran antara eksekutif dan legislatif.
b. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
KPPU dibentuk berdasarkan UU nomor 5 tahun 1999. Tugas utamanya adalah mengawasi dunia usaha (bisnis), menyelidiki dan memutuskan perkara persaingan usaha. Jika melihat fungsi tersebut maka KPPU kedudukannya sebagai pelaksana UU nomor 5 tahun 1999 (eksekutif), namun juga menempel hak untuk menyelidiki, memutus perkara dan menjatuhkan sanksi yang sebenarnya fungsi itu ada di cabang kekuasaan Yudikatif. KPPU juga memiliki kewenangan untuk membuat peraturan untuk mengatur dunia usaha melalui peraturan komisi (fungsi legislatif). Percampuran fungsi dalam KPPU adalah fungsi Eksekutif, legislatif dan fungsi Yudikatif13.


c. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
KPI terbentuk atas amanat UU nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran. KPI memiliki kewenangan14:
  1. Menetapkan standar program siaran
  2. Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran (diusulkan oleh asosiasi/masyarakat penyiaran kepada KPI)
  3. Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran
  4. Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran
  5. Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat
























BAB III
PEMBAHASAN


III.1. SEJARAH BERDIRINYA BAWASLU
Istilah pengawasan pemilu muncul di era tahun 1980. Melalui halaman website http://www.bawaslu.go.id/id/profil/sejarah-pengawasan-pemilu Bawaslu menulis sejarah munculnya pengawasan pemilu dan perkembangannya. Saat itu para partai politik pesaing partai Golongan Karya (Golkar) yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) gencar melakukan protes tindak kecurangan yang terjadi pada pemilu tahun 1971 dan 1977. Presiden Soeharto yang waktu itu sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara kemudian merespon dengan merevisi UU pemilu dan memasukkan unsur partai politik ke dalam kepanitian penyelenggaraan pemilu. Sehingga pada pemilu tahun 1982 telah lahir badan baru yang dinamakan Panitia Pengawas Pelaksana Pemilu (Panwaslak Pemilu) yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilu. Panwaslak Pemilu bersama dengan Lembaga Pemilihan Umum (LPU) menjadi satu lembaga panitia penyelenggara pemilu yang kedudukannya berada di Departemen Dalam Negeri saat itu.
Pasca reformasi, dibentuklah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diharapkan dapat menjadi penyelenggara pemilihan umum yang mandiri dan independen. Pengawas pemilu yang sebelumnya bernama Panwaslak pemilu juga berubah menjadi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) namun masih dalam satu organisasi kelembagaan KPU. Para anggota Panwaslu dipilih oleh anggota KPU sehingga Panwaslu keberadaannya ada dibawah koordinasi KPU. Baru tahun 2003 melalui undang-undang nomor 12 tahun 2003, Panwaslu lepas dari kelembagaan KPU dan menjadi organisasi tersendiri meliputi Panwaslu, Panwaslu Provinsi, panwaslu Kabupaten/Kota, dan Panwaslu kecamatan namun masih bersifat adhoc atau sementara. Kemudian pada tahun 2007 diberlakukan secara tetap dengan nama Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dengan adanya adanya UU nomor 22 tahun 1997 dan penambahan struktur hingga ke level kelurahan. Dalam UU nomor 22 tahun 1997 itu, kewenangan dalam merekruit panitia pengawas pemilu masih dimiliki oleh KPU. Lalu kemudian Bawaslu melakukan uji materi UU itu ke Mahkamah Konstitusi dan hasilnya MK memutus bahwa kewenangan rekruitmen panitia Panwaslu berada di Bawaslu. Hingga seterusnya lembaga Bawaslu perannya semakin diperkuat dengan berbagai kewenangan yang diatur melalui UU penyelenggaraan pemilu, walaupun di sisi lain juga masih ada pembatasan di proses pembuatan peraturan Bawaslu.


III.2. VISI, MISI, TUGAS, WEWENANG DAN KEWAJIBAN15
Visi
Terwujudnya Bawaslu sebagai Lembaga Pengawal Terpercaya dalam Penyelenggaraan Pemilu Demokratis, Bermartabat, dan Berkualitas.
Misi
  1. Membangun aparatur dan kelembagaan pengawas pemilu yang kuat, mandiri dan solid;
  2. Mengembangkan pola dan metode pengawasan yang efektif dan efisien;
  3. Memperkuat sistem kontrol nasional dalam satu manajemen pengawasan 
yang terstruktur, sistematis, dan integratif berbasis teknologi;
  4. Meningkatkan keterlibatan masyarakat dan peserta pemilu, serta 
meningkatkan sinergi kelembagaan dalam pengawasan pemilu partisipatif;
  5. Meningkatkan kepercayaan publik atas kualitas kinerja pengawasan berupa pencegahan dan penindakan, serta penyelesaian sengketa secara cepat, 
akurat dan transparan;
  6. Membangun Bawaslu sebagai pusat pembelajaran pengawasan pemilu baik 
bagi pihak dari dalam negeri maupun pihak dari luar negeri.


Tugas, Wewenang, dan Kewajiban Pengawas Pemilu berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu adalah sebagai berikut :
  1. Mengawasi Penyelenggaraan Pemilu dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran untuk terwujudnya Pemilu yang demokratis. Tugas tersebut secara singkat dalam diuraikan sebagai berikut :
    • Mengawasi persiapan penyelenggaraan Pemilu;
    • Mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu;
    • Mengawasi pelaksanaan Putusan Pengadilan;
    • Mengelola, memelihara, dan marawat arsip/dokumen;
    • Memantau atas pelaksanaan tindak lanjut penanganan pelanggaran pidana Pemilu;
    • Mengawasi atas pelaksanaan putusan pelanggaran Pemilu;
    • Evaluasi pengawasan Pemilu;
    • Menyusun laporan hasil pengawasan penyelenggaraan Pemilu;
    • Melaksanakan tugas lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.


  1. Wewenang Pengawas Pemilu sebagai berikut :
    • Menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu
    • Menerima laporan adanya dugaan pelanggaran administrasi Pemilu dan mengkaji laporan dan temuan, serta merekomendasikannya kepada yang berwenang
    • Menyelesaikan sengketa Pemilu
    • Membentuk, mengangkat dan memberhentikan Pengawas Pemilu di tingkat bawah
    • Melaksanakan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan


  1. Kewajiban Pengawas Pemilu sebagai berikut :
    • Bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya;
    • Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Pengawas Pemilu pada semua tingkatan;
    • Menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu;
    • Menyampaikan laporan hasil pengawasan sesuai dengan tahapan Pemilu secara periodik dan/atau berdasarkan kebutuhan; dan
    • Melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.


III.3. MEKANISME SELEKSI ANGGOTA BAWASLU
Mekanisme seleksi anggota Bawaslu hingga pengesahan telah diatur dalam UU nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu dari pasal 86 – 90.
a. Pembentukan Tim Seleksi
Presiden membentuk Tim Seleksi yang terdiri dari 11 orang yang berasal dari unsur pemerintah dan masyarakat dengan memperhatikan keterwakilan perempuan. Tim Seleksi bertugas membantu Presiden menyeleksi dan menetapkan calon anggota Bawaslu sebanyak 10 orang yang nantinya akan diajukan oleh Presiden ke DPR untuk dilakukan pemilihan. Tahapan seleksi yang akan dilakukan Tim Seleksi adalah16:
a. mengumumkan pendaftaran calon anggota Bawaslu pada media massa cetak harian dan media massa elektronik nasional;
b. menerima pendaftaran bakal calon anggota Bawaslu;
c. melakukan penelitian administrasi bakal calon anggota Bawaslu;
d. mengumumkan hasil penelitian administrasi bakal calon anggota Bawaslu;
e. melakukan seleksi tertulis dengan materi utama pengetahuan mengenai Pemilu;
f. melakukan tes kesehatan;
g. melakukan serangkaian tes psikologi;
h. mengumumkan nama daftar bakal calon anggota Bawaslu yang lulus seleksi tertulis, tes kesehatan, dan tes psikologi untuk mendapatkan masukan dan tanggapan masyarakat;
Salahsatu anggota Bawaslu periode 2017 – 2022, Fritz Edward Siregar, mengatakan bahwa dia mendapatkan informasi mengenai seleksi anggota Bawaslu dari temannya melalui media pesan Whatsapp. Setelah mendapatkan informasi tersebut Fritz kemudian mendaftarkan diri dengan berkas-berkas yang dipersyaratkan. Metode seleksi memakai tertulis, wawancara, tes psikologis, dan tes kesehatan secara menyeluruh. Materi yang diujikan meliputi berbagai hal tentang penyelenggaraan pemilu, peraturan perundang-undangan dan opini terhadap beberapa kejadian dalam penyelenggaran pemilu17. Menurut Fritz, materi yang diujikan dalam Tim Seleksi semua relevan dengan tugas dan tanggungjawab lembaga Bawaslu. Selain itu, dia juga menilai bahwa anggota Tim Seleksi adalah orang-orang kompeten di bidang tata negara khususnya penyelenggaraan pemilu. Tim Seleksi mengharuskan semua calon anggota Bawaslu menandatangani komitmen untuk tidak berkomunikasi dengan DPR anggota komisi II agar tidak terjadi lobi-lobi di belakang proses resmi.
Tim Seleksi melakukan semua tahapan di atas dengan waktu maksimal 3 bulan setelah Tim Seleksi terbentuk. Semua tahapan dalam proses seleksi harus dilaporkan kepada DPR komisi II yang membidangi mengenai penyelenggaraan pemilu.


b. Pengajuan Ke DPR
Tim Seleksi menyerahkan daftar 10 orang calon anggota Bawaslu hasil dari proses seleksi kepada Presiden. Maksimal 14 hari setelah daftar calon anggota Bawaslu diterima, maka Presiden harus mengajukan daftar tersebut ke DPR komisi II. DPR memiliki waktu 30 hari setelah daftar calon anggota Bawaslu diterima, untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan. Menurut Fritz, uji kelayakan dan Kepatutan dengan tatap muka yang dilakukan DPR berlangsung hanya 1 hari yang kemudian dilanjutkan dengan pemilihan. 10 orang calon anggota Bawaslu dihadirkan di Komisi II DPR dan mendapatkan berbagai pertanyaan dari anggota DPR. Karena waktunya bersamaan maka antarcalon anggota Bawaslu dapat mendengar jawaban atau tanggapan dari calon anggota yang lainnya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan anggota DPR masih seputar soal penyelenggaraan pemilu dan bentuk-bentuk koordinasi dengan DPR. Anggota DPR juga mempertanyakan berbagai kontroversi yang sedang terjadi seperti KPU yang sedang mengajukan uji materi UU Pilkada yang mengatur soal keputusan Rapat Dengar Pendapat yang mengikat terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Hal itu juga ditanyakan kepada calon anggota Bawaslu karena peraturan Bawaslu juga mengacu kepada Rapat Dengar Pendapat. Jawaban Fritz ketika mendapat pertanyaan itu ada, dia akan melakukan apa yang telah diperintahkan oleh undang-undang.
Menurut Fritz, proses uji kelayakan dan kepatutan sejatinya bukanlah menguji kompetensi dari para calon anggota Bawaslu. Karena dia berpandangan, 10 orang calon anggota Bawaslu semuanya memiliki kompetensi untuk menjadi anggota Bawaslu dan terbukti sudah teruji di Tim Seleksi. Dia menambahkan bahwa proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR dibutuhkan untuk menguji chemistry atau kecocokan sebagai mitra kerja. Fritz menilai, DPR membutuhkan anggota Bawaslu yang kompeten dan bisa berkoordinasi baik dengan komisi II selaku mitra kerja. Bahkan Fritz memberi analogi uji kelayakan dan kepatutan seperti seseorang yang memilih jodohnya.
Setelah dilakukan sesi tanya jawab antara Komisi II DPR dengan 10 calon anggota Bawaslu, kemudian Komisi II DPR mengelar pemilihan tertutup. Dari 10 orang calon anggota Bawaslu, DPR harus memilih 5 orang yang akan duduk sebagai anggota Bawaslu. Pemilihan dilakukan tertutup (voting) dengan memilih nama. Nama yang mendapatkan suara tertinggi 5 besar itulah yang terpilih sebagai anggota Bawaslu. Setelah Komisi II selesai memilih 5 calon anggota Bawaslu maka kemudian daftar nama tersebut diserahkan kepada Presiden. Kemudian Presiden memiliki waktu 5 hari kerja untuk melakukan pengesahan melalui Keputusan Presiden.


III.4. Kedudukan Bawaslu dan DPR
Sesuai yang telah dibahas di bab Kajian Pustaka tentang state auxiliary bodies atau lembaga penunjang, Bawaslu adalah salahsatu lembaga penunjang yang dibentuk berdasar UU nomor 15 tahun 2011. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diamanatkan secara langsung dalam UUD 1945 amandemen. Indonesia sudah tidak menganut sistem pembagian kekuasaan lagi di mana sebelum UUD 1945 diamandemen, MPR adalah lembaga tertinggi negara. Melalui UUD 1945 amandemen, sistem pembagian kekuasaan yang sebelumnya pembagian kekuasaan diganti dengan pemisahan kekuasaan. Dengan pergantian itu artinya tidak ada lembaga negara yang kedudukannya lebih di atas dibandingkan lembaga yang lain dalam cabang kekuasaan.
Dengan demikian posisi DPR dengan Bawaslu adalah setara dan independen. Jika dikaitkan dengan penyelenggaraan pemilu, DPR sebagai legislator membuat undang-undang untuk pengaturan terkait penyelenggaraan pemilu. Sedangkan Bawaslu melaksanakan segala tugas dan fungsi yang diamanatkan di dalam undang-undang. Sedangkan aturan-aturan yang tidak diatur lebih detail dalam aturan undang-undang maupun turunannya diatur lebih lanjut dalam peraturan Bawaslu. Selain itu DPR juga memiliki kewenangan dalam melakukan pengawasan kepada Bawaslu dalam penyelenggaraan pemilu.
Kedudukan DPR dan Bawaslu yang setara dalam ketatanegaraan Indonesia ternyata tidak tercermin dalam proses seleksi anggota Bawaslu karena DPR menjadi penentu calon anggota yang akan duduk sebagai anggota Bawaslu. Hak memilih anggota Bawaslu itu yang kemudian menjadi bias pandangan bahwa DPR berada dalam kedudukan yang lebih tinggi karena sebagai pembuat undang-undang dan pihak yang menentukan terpilihnya anggota Bawaslu.
III.4. CONTOH KASUS PERSETERUAN DPR DENGAN LEMBAGA LAIN
a. DPR VS KPU
Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman menilai Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak perlu menggugat pasal 9 dalam Undang-undang (UU) nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal itu menyebutkan KPU wajib berkonsultasi dengan pemerintah dan DPR dalam menyusun dan menetapkan peraturan KPU (PKPU)18.
"Sejak awal itu yang kita khawatirkan, DPR meminta perubahan peraturan KPU soal pencalonan anggota legislatif. Khawatir ini dijadikan barter pasal, di mana saat ini terlalu kentara potensi intervensinya, " kata Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Yus Fitriadi dalam keterangan tertulisnya, Kamis (18\/4\/2013)19


b. DPR VS KPK
Pengajuan hak angket oleh DPR bergulir dikarenakan pernyataan KPK yang tetap menolak membuka rekaman BAP Miryam. Ada dua kasus berbeda yang melibatkan Miryam, yang pertama sebagai saksi untuk kasus dengan tersangka Irman Gusman dan Sugiharto, yang kedua kasus yang menjerat Miryam sebagai tersangka memberi keterangan palsu.

BAP Miryam untuk kasus kedua yang diminta DPR untuk dibuka. KPK menolak rekaman pemeriksaan tersebut dibuka karena kasus masih belum sampai di pengadilan. Di pengadilan, Miryam juga menyebut sejumlah nama anggota Komisi III yang menurutnya menekan dia terkait kasus korupsi e-KTP
20.
DPR mengirimkan nota keberatan pencekalan Setya Novanto ke Presiden Joko Widodo. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga independen yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun21.


c. DPR VS Komnas HAM
Wakil Ketua Komisi III Almuzammil Yusuf mengatakan, pihaknya memberi Komnas HAM waktu paling lama satu bulan untuk menyelesaikan konflik dan melaporkan hasilnya kepada Komisi III. Jika dalam waktu yang ditentukan konflik tersebut tidak selesai, maka Komisi III akan mengambil alih dengan memfasilitasi pemilihan jabatan ketua yang baru22.
Dari berbagai kasus yang terjadi di atas, DPR menggunakan berbagai kewenangannya yang luas untuk mengintervensi kinerja lembaga lain. PKPU yang diikat dengan Rapat Dengar Pendapat, UU Pemberantasan Korupsi berkali-kali ingin direvisi, dan Komnas yang diancam dengan kewenangan penganggaran. Lembaga-lembaga yang berkonflik dengan DPR di atas, para pimpinan atau anggotanya dipilih oleh DPR. Sehingga posisi kontrol DPR berada sejak sebelum menjabat dengan pemilihan dan setelah menjabat dengan fungsi peraturan, penganggaran dan pengawasan. Terlihat sekali bahwa DPR sekarang ini memiliki kewenangan yang sangat kuat terhadap suatu lembaga.
Walaupun dalam konstitusi jika terjadi persengketaan antarlembaga maka bisa diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi, namun kenyataannya konflik yang muncul lebih banyak terkait politik.


III.5. Efektifitas Pemilihan Melalui DPR
Jika melihat pertama proses seleksi yang telah diatur dalam UU nomor 15 tahun 2011, DPR memiliki peran yang sentral dalam menentukan siapa yang akan duduk sebagai anggota Bawaslu. Walaupun Tim Seleksi yang memilih para calon anggota Bawaslu, namun pada akhirnya DPR lah yang menentukan hasil akhirnya. Secara materi untuk menguji kompetensi jika melihat pengalaman yang disampaikan Fritz Edward Siregar, tempatnya adalah di Tim Seleksi. Tim Seleksi berisikan orang-orang yang memiliki pengalaman, integritas dan pengetahuan untuk melakukan seleksi. Sedangkan peran DPR lebih untuk melihat kecocokan dalam bekerjasama bersama DPR. Walaupun demikian, menurut Fritz tetap diperlukan peran DPR dalam memilih calon anggota Bawaslu. Dia memberi alasan bahwa DPR dan Bawaslu adalah mitra kerja, sehingga dibutuhkan kecocokan. Selain itu, Bawaslu juga membutuhkan DPR ketika Bawaslu mengalami kendala terhadap pihak-pihak lain melalui jalur prosedural gagal. DPR bisa membantu Bawaslu melalui jalur politik karena DPR adalah anggota partai.
Chemistry atau “Kecocokan” yang diinginkan dalam kerangka koordinasi antara komisi II DPR dan Bawaslu tidaklah beralasan. Koordinasi DPR dengan Bawaslu bukanlah pasangan pejabat politik seperti Presiden dan Wakil Presiden yang mengharuskan adanya kekompakan dalam menjalankan pemerintahan. DPR dan Bawaslu adalah lembaga yang masing-masing memiliki independensi dalam melaksanakan fungsi dan perannya masing-masing. DPR sesuai salahsatu fungsinya adalah melakukan pengawasan kepada eksekutif maupun badan-badan lainnya, namun tidak dalam rangka mencari kecocokan. Jika pertimbangan utama adalah kecocokan maka dikhawatirkan justru fungsi pengawasan tidak akan terjadi seperti yang diharapkan.
Kedua, pengalaman berbagai kasus yang telah diuraikan sebelumnya maka peran DPR sudah tidak efektif dan relevan lagi dalam proses seleksi pemilihan anggota Bawaslu. Seleksi kompetensi anggota Bawaslu berada di tangan Tim Seleksi bentukan Presiden dan pengesahan dilakukan oleh Presiden melalui Keputusan Presiden. DPR tetap bisa melakukan checks and balances melalui kewenangannya legislasi, penganggaran dan pengawasan. Maksud fungsi pengawasan seharusnya tidak diperluas hingga pada hak memilih. Pengawasan mesti dikembalikan pada arti mengawasi kinerja lembaga dalam menjalankan undang-undang.
Ketiga, DPR walaupun dipilih oleh rakyat namun mereka adalah anggota partai politik yang notabene adalah peserta pemilu. Tidak pada kedudukannya jika panitia pemilu dipilih oleh peserta pemilu. Hal itu akan menimbulkan konflik kepentingan dari peserta pemilu kepada panitia pemilu, apalagi peserta pemilu memakai kewenangan wakil rakyat untuk melakukan kontrol terhadap panitia pemilu yaitu Bawaslu.












BAB IV
KESIMPULAN


Bawaslu adalah lembaga penunjang yang dibentuk oleh UU nomor 15 tahun 2011 sebagai penyelenggara pemilihan umum dalam fungsi pengawasan. Untuk menjalankan fungsi itu, Bawaslu dituntut untuk bisa bekerja secara mandiri dan independen sesuai cita-cita reformasi dalam bidang perbaikan birokrasi dan demokratisasi. Pada realitasnya harapan independensi kelembagaan itu masih tersangkut dengan DPR. Tiga fungsi DPR yaitu legislasi, penganggaran dan pengawasan yang selama ini sudah ada mengalami perluasan khususnya dibidang pengawasan. DPR yang juga sebagai anggota partai politik melalui undang-undang berhak memilih anggota Bawaslu. Selain itu berdasar pada kedudukan kelembagaan Badan Pengawas Pemilu yang dibentuk oleh undang-undang, bukanlah jalur subordinatif dari lembaga lain khususnya DPR. Indonesia tidak mengenal lagi istilah lembaga tertinggi negara, namun yang ada adalah lembaga negara. Konsep kekuasaan juga bukan lagi pembagian kekuasaan namun pemisahan kekuasaan sesuai doktrin trias politica. Berikutnya adalah banyaknya konflik yang dilakukan DPR kepada lembaga penunjang menunjukkan DPR melalui kewenangannya dapat melakukan intervensi dan dikhawatirkan tersusupi kepentingan politik.
Berdasar berbagai uraian pembahasan di atas maka penelitian ini menyimpulkan bahwa peran DPR dalam pemilihan anggota Bawaslu harus ditinjau ulang karena rentan disusupi kepentingan politik dan menurunkan derajat independensi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).




















DAFTAR REFERENSI
























3Jimly Ashiddiqie. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Mahkamah Konstitusi, 2006.
4Arifin, Firmansyah dkk. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara. Jakarta: Konsorsium Pembaharuan Hukum Nasional dan Mahkamah Kosntitusi Republik Indonesia, 2005.
6Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2006: 11-13.

7Id., hlm.13.
8Id., hlm.23.
9Ahmad Basarah. Kajian Teoritis Terhadap Auxiliary State’s Organ Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia. MMH. Jilid 43 No.1. Jakarta, Januari 2014.

10Id, hlm 2.
11Id, hlm 4.
12Id, hlm 4.
16Pasal 87, UU nomor 15 tahun 2011
17Wawancara dengan Fritz Edward Siregar, salahsatu anggota Bawaslu 2017-2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

REVIEW BUKU "MENUJU GERBANG KEMERDEKAAN"

DI/TII

MUNIR