MAKALAH DPR DAN BAWASLU
PERAN
DPR DALAM PEMILIHAN ANGGOTA BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM (BAWASLU)
DAN PENGARUHNYA TERHADAP INDEPENDENSI KELEMBAGAAN
OLEH:
GUNTORO
DISUSUN
UNTUK UJIAN AKHIR SEMESTER
SEKOLAH
TINGGI HUKUM INDONESIA JENTERA
JAKARTA
2017
BAB
I
PENDAHULUAN
I.1.
LATAR BELAKANG
“DPR
mengirimkan nota keberatan pencekalan Setya Novanto ke Presiden Joko
Widodo. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyebut Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) adalah lembaga independen yang tidak bisa diintervensi
oleh siapapun”1.
Petikan
berita di atas diambil dari halaman detik.com menyoal pencekalan
Setya Novanto yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
terkait kasus korupsi E-KTP. Ketua DPR RI Setya Novanto terbelit
skandal korupsi E-KTP yang sedang ditangani oleh KPK. Tak terima
dengan pencekalan yang dilakukan KPK, DPR mengirimkan surat nota
keberatan kepada presiden. Hingga penelitian ini disusun, kasus itu
belum selesai. Bahkan DPR nekat menggulirkan hak angket untuk
menyelidiki KPK terkait rekaman Miryam salahsatu terduga korupsi
kasus yang sama dengan Setya Novanto. Walaupun belakangan proses hak
angket ini menguap begitu saja setelah banyak fraksi tidak
mengirimkan wakilnya dalam rapat. Banyak pihak menilai
langkah-langkah yang dilakukan DPR merespon kasus E-KTP sebagai
langkah politis yang berusaha mengintervensi kerja KPK.
Konflik
yang terjadi antara DPR dan KPK adalah salahsatu contoh benturan
antar kelembagaan negara. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi mencatat terdapat 7 lembaga Kesekretarian
Negara, 34 lembaga kementerian, 4 lembaga setingkat menteri, 28
lembaga pemerintah non kementerian (LPNK), dan 88 lembaga non
struktural (State
auxiliary Bodies)
2.
Jika menggunakan salahsatu pengertian yang digunakan Jimly Ashiddiqie dalam penggolongan lembaga negara maka bisa digunakan arti sempit yaitu lembaga tinggi negara atau lembaga utama (main’s organ) karena pembentukannya diamanatkan secara langsung di dalam UUD 1945 amandemen. Lembaga tinggi negara tersebut ialah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Kepresidenan, Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA). Sedangkan Lembaga penunjang atau disebut State Auxiliary Bodies contohnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan masih banyak lagi yang karena terbentuknya berdasarkan undang-undang3.
Jika menggunakan salahsatu pengertian yang digunakan Jimly Ashiddiqie dalam penggolongan lembaga negara maka bisa digunakan arti sempit yaitu lembaga tinggi negara atau lembaga utama (main’s organ) karena pembentukannya diamanatkan secara langsung di dalam UUD 1945 amandemen. Lembaga tinggi negara tersebut ialah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Kepresidenan, Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA). Sedangkan Lembaga penunjang atau disebut State Auxiliary Bodies contohnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan masih banyak lagi yang karena terbentuknya berdasarkan undang-undang3.
Masing-masing
lembaga tersebut tentu memiliki peran, fungsi dan kedudukannya
masing-masing dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Pembentukan
komisi dalam kategori state
auxiliary bodies bertujuan
mendelegasikan peran presiden atau pemerintah dalam menjalankan
urusan pemerintahan tertentu yang diamanatkan dalam undang-undang.
Hal itu juga banyak terjadi di negara lain seperti Amerika Latin.
Pendelegasian bertujuan untuk mengurangi atau mengendalikan campur
tangan presiden dalam suatu urusan tertentu. Sehingga lembaga-lembaga
tersebut diharapkan bisa independen tanpa campur tangan kekuasaan4.
Lembaga
penunjang karena diamanatkan dalam undang-undang maka tugas utamanya
adalah sebagai pelaksana undang-undang. Pelaksanaan yang diatur dalam
undang-undang dalam urusan tertentu membuat beberapa lembaga
penunjang itu memiliki peran eksekutif merangkap legislatif (tentu
dengan cakupan yang lebih sempit) dan merangkap juga yudikatif
(dengan cakupan yang lebih khusus). Sebut saja seperti Komisi
Pemilihan Umum (KPU) sebagai eksekutif penyelenggara pemilihan umum
namun juga memiliki kewenangan membuat peraturan Komisi Pemilihan
Umum (PKPU) dalam mengatur penyelenggaraan pemilu yang belum diatur
dalam undang-undang. Contoh eksekutif merangkap yudikatif
seperti
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang memiliki wewenang
mengadili dan memutus sengketa persaingan usaha.
Bercampurnya
kewenangan tersebut, tentu tidak sejalan dengan doktrin pemisahan
kekuasaan (trias
politica). Namun
cita-cita reformasi yang menginginkan adanya independensi
lembaga-lembaga negara dari kepentingan politik dan kondisi bernegara
yang semakin kompleks maka segala inovasi menjadi kebutuhan. Meskipun
dibentuk dengan independensinya namun beberapa hal masih terikat
dengan DPR sebagai contoh KPU mengajukan uji materi pasal 9 UU nomor
10 tahun 2016 tentang Pilkada. KPU tidak setuju jika keputusan Rapat
Dengar Pendapat (RDP) yang diselenggarakan di DPR bersifat mengikat
dalam pembuatan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). KPU
menginginkan bisa membuat peraturannya secara mandiri dan independen
tanpa harus terikat dengan keputusan RDP. Di sisi lain, DPR merasa
bahwa mereka memiliki kewenangan untuk mengawal KPU dalam
melaksanakan undang-undang. Supaya KPU tidak membuat keputusan yang
melenceng dari undang-undang maka keputusannya perlu dibicarakan di
Rapat Dengar Pendapat5.
Terkait
keputusan RDP yang mengikat terhadap PKPU, itu juga berlaku bagi
Bawaslu. Lembaga pengawas penyelenggaraan pemilu itu juga harus
mengikuti keputusan RDP di DPR dalam membuat peraturan Bawaslu. Peran
KPU dan Bawaslu yang memiliki tanggungjawab penyelenggaraan pemilu
sangat berkaitan dengan partai politik sebagai peserta pemilu.
Anggota DPR yang juga sebagai anggota partai politik memiliki
kepentingan terkait KPU dan Bawaslu. Namun karena peraturan yang
dibuat oleh KPU dan Bawaslu mesti mengacu pada keputusan RDP maka hal
itu dikhawatirkan menganggu independensi kedua lembaga penyelenggara
pemilu tersebut. Apalagi pemilihan komisioner KPU dan Bawaslu dipilih
oleh DPR komisi II setelah diajukan oleh Presiden melalui panitia
seleksi (Pansel).
Secara
singkat, KPU dan Bawaslu yang tugasnya menjadi panitia pemilu dari
partai politik yang menjadi peserta pemilu, dipilih oleh anggota DPR
yang notabene adalah anggota partai politik juga. Oleh larena itu
penelitian ini ingin menggali lebih jauh keterkaitan itu namun akan
difokuskan kepada salahsatu lembaga saja yaitu Bawaslu.
I.2.
PERTANYAAN PENELITIAN
Dari
latar belakang di atas maka penelitian ini akan fokus pada:
-
Bagaimanakah pengaturan mengenai seleksi anggota lembaga penyelenggara pemilihan umum, khususnya Badan Pengawas Pemilhan Umum (Bawaslu)?
-
Seberapa efektifkah mekanisme seleksi anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dalam menjaga netralitas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)?
I.3.
TUJUAN PENELITIAN
Dari
rumusan pertanyaan penelitian di atas maka, penelitian ini bertujuan
sebagai berikut:
-
Untuk mengetahui bagaimana pengaturan mengenai seleksi anggota lembaga penyelenggara pemilihan umum, khususnya badan pengawas pemilihan umum (Bawaslu)
-
Untuk mengetahui efektifitas mengenai seleksi anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dalam menjaga netralitas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
I.4.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian
menggunakan metodologi telaah produk hukum dan kepustakaan yang
terkait dengan topik dalam penelitian ini. Telaah produk hukum dan
kepustakaan itu melihat secara lebih detail kedudukan masing-masing
lembaga dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang kemudian
disambungkan dengan doktrin tata negara yang banyak menjadi acuan.
Dari
hasil telaah produk hukum dan kepustakaan itu kemudian dibandingkan
dengan data hasil wawancara dengan salahsatu anggota Bawaslu dan
berbagai kasus yang pernah terjadi dengan lembaga sejenis.
Kasus-kasus itu dikumpulkan dari berita di media massa online untuk
dilihat keterkaitannya dengan sesama lembaga penunjang khususnya
Bawaslu.
I.5.
HIPOTESIS
Peran
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pemilihan anggota lembaga
penyelenggara pemilihan umum khususnya Badan Pengawas Pemilihan Umum
(Bawaslu) perlu ditinjau ulang karena mempengaruhi independensi
Bawaslu.
BAB
1I
KAJIAN
PUSTAKA
II.1.
TRIAS
POLITICA
Salahsatu
ciri utama negara hukum adalah adanya pembatasan kekuasaan.
Pembatasan itu dilakukan karena dalam sejarah negara klasik kekuasaan
dipegang secara absolut oleh raja atau ratu yang berkuasa secara
turun temurun. Bahkan dalam negara teokrasi kekuasaan raja bertambah
kuat karena perintah raja adalah perintah Tuhan. Sebagai contoh
adalah peradaban mesir, Cina, India dan Romawi kuno. Raja dianggap
utusan Tuhan di dunia yang segala perintah dan kehendaknya harus
dipatuhi oleh seluruh rakyat. Kekuasaan absolut itulah yang cenderung
sewenang-wenang dan melanggar hak-hak warga negaranya. Oleh karena
itu diadakan pembatasan kekuasaan dan pada mulanya memisahkan antara
kekuasaan raja dan gereja atau Tuhan dengan gerakan sekulerisme.
Pada
perkembangannya pemisahan kekuasaan tidak hanya memisahkan kekuasaan
raja dan gereja, namun juga memisahkan kekuasaan di internal
pelaksana kekuasaan. Doktrin yang paling berpengaruh adalah trias
politica oleh
Montesquieu6.
Konsep trias
politica-nya
Montesquieu sebenarnya
terpengaruh
atas pendapat John Locke yang mengatakan bahwa kekuasaan untuk
menetapkan hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka yang
menerapkannya. Dia kemudian menggagas adanya pemisahan kekuasaan
menjadi tiga fungsi yaitu pembuat undang-undang, pelaksana
undang-undang dan yang mengadili atas pelanggaran terhadap
undang-undang. Ketiga fungsi itu yang kemudian disebut sebagai
kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif.
Untuk
membatasi pengertian pemisahan kekuasaan (separation
of power) G.Marshall7
membedakan ke dalam 5 aspek yaitu:
1)
differentiation;
2) legal incompatibility of office holding;
3) isolation, immunity, independence;
4) checks and balances;
5) co-ordinate status and lack of accountability
2) legal incompatibility of office holding;
3) isolation, immunity, independence;
4) checks and balances;
5) co-ordinate status and lack of accountability
pertama,
pemisahan
kekuasaan membedakan fungsi pembuatan undang-undang, pelaksana
undang-undang dan fungsi pengadilan untuk menegakkan undang-undang.
Kedua,
tidak
boleh adanya rangkap jabatan di antara ketiga fungsi tersebut.
Ketiga,
antarfungsi
atau organ tidak boleh adanya saling intervensi agar prinsip
independensi dapat dijaga. Keempat,
walaupun
memiliki hak independensi namun supaya tidak adanya penyalahgunaan
wewenang maka diperlukan adanya saling mengimbangi kekuatan dan
mengendalikan antarorgan. Kelima,
antar
lembaga memiliki kesederajatan dan hubungannya bersifat coordinatif.
Indonesia
pada era orde baru tidak menerapkan pemisahan kekuasaan namun
pembagian kekuasaan (division
of power)8.
Memang terjadi pemisahan secara kelembagaan dengan adanya DPR dan MPR
sebagai lembaga legislatif, adanya pemerintah sebagai eksekutif dan
adanya kehakiman sebagai lembaga yudikatif. Namun dalam kewenangan
fungsi adalah pembagian kekuasaan. Hal itu termaktub dalam UUD 1945
(sebelum amandemen) dinyatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat
dan diberikan kepada MPR selaku lembaga tertinggi negara. Presiden
dipilih, diangkat dan diberhentikan oleh MPR. Itu berarti
pertanggungjawaban Presiden kepada MPR. Hubungan MPR dengan presiden
selaku eksekutif bersifat subordinatif.
Soeharto
yang memiliki suara mayoritas melalui partai Golkar dan berbagai
fraksi di DPR menjadi sangat dominan dalam mempengaruhi lembaga lain
seperti DPR dan Yudikatif. Maka tidak heran, Soeharto dapat menjadi
presiden selama 32 tahun.
Reformasi
1998 membawa semangat yang besar dalam mengubah berbagai aspek
ketatanegaraan di Indonesia. Semangat ini dilatarbelakangi kondisi
orde baru yang otoritarian dan korup. Dengan jatuhnya Soeharto
dimulailah berbagai reformasi salahsatunya adalah reformasi
konstitusi dengan mengamandemen UUD 1945. Perubahan konstitusi
membawa dampak besar pada lanskap ketatanegaraan Indonesia. Dalam UUD
1945 tidak mengenal lagi lembaga tertinggi negara seperti pengaturan
di UUD 1945 yang pertama. Lembaga negara di UUD 1945 amandemen diatur
setara atau coordinatif.
Sistem kekuasaan berubah dari pembagian kekuasaan (division
of power)
menjadi pemisahan kekuasaan (separation
of power)
seperti yang didoktrinkan dalam trias
politica. Kekuasaan
DPR yang sebelumnya lemah dikembalikan lagi dengan ditegaskannya
kewenangan pembuatan undang-undang. Begitu pula sebaliknya presiden
bukanlah mandatoris MPR karena presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Secara garis besar, trias
politica setelah
terwujud dalam DPR sebagai legislatif, presiden sebagai eksekutif dan
Mahkamah Agung sebagai Yudikatif. Ketiganya tidak bisa saling
mengintervensi namun masih bisa mengendalikan seperti prinsip yang
disampaikan oleh G. Marshall. Sebagai contoh undang-undang produk DPR
masih bisa dianulir melalui keputusan Mahkamah Konstitusi melalu
mekanisme Peninjauan Kembali (PK).
II.2.
STATE
AUXILIARY BODIES (LEMBAGA
PENUNJANG)
Amandemen
UUD 1945 tidak hanya mengubah sistem kekuasaan namun juga menumbuhkan
banyak sekali lembaga negara baru. Lembaga-lembaga itu ada yang
secara jelas teramanatkan dalam UUD 1945 amandemen seperti Mahkamah
Konstitusi, Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Komisi
Yudisial. Ada juga lembaga baru yang terbentuknya berdasarkan
undang-undang. Setidaknya hingga 2013 ada 88 lembaga baru berdasarkan
undang-undang, contohnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi
Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Pembentukan berbagai lembaga negara itu terbagi atas peran dan fungsi
tertentu yang dibutuhkan dalam berbagai kepentingan jalannya
kenegaraan. Selain itu, pembentukan lembaga baru itu diharapkan dapat
menjawab keinginan publik atas independensi suatu lembaga negara.
Secara sederhana lembaga-lembaga tersebut terbagi menjadi main
state’s organ9
atau
lembaga utama karena diamanatkan secara langsung di UUD 1945
amandemen dan State
auxiliary bodies
(SAB) atau lembaga penunjang karena dasar pembentukannya diamanatkan
melalui undang-undang tertentu. Lembaga penunjang (SAB) itu memiliki
fungsi dan tujuan tertentu untuk menjalankan amanat undang-undang.
-
Negara mengalami perkembangan di mana kehidupan ekonomi dan sosial menjadi sangat
kompleks yang mengakibatkan badan eksekutif mengatur hampir seluruh kehidupan masyarakat. -
Hampir semua negara modern mempunyai tujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya yang berkonsep negara kesejahteraan (Welfare State). Untuk mencapai tujuan tersebut negara dituntut menjalankan fungsi secara tepat, cepat dan komprehensif dari semua lembaga negara yang ada.
-
Adanya keadaan dan kebutuhan yang nyata, baik karena faktor-faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya di tengah dinamika gelombang pengaruh globalisme versus lokalisme yang semakin komplek mengakibatkan variasi struktur dan fungsi organisasi dan institusi-institusi kenegaraan semakin berkembang.
-
Terjadinya transisi demokrasi, yang mengakibatkan terjadinya berbagai kesulitan ekonomi, dikarenakan terjadinya aneka perubahan sosial dan ekonomi. Negara yang mengalami perubahan sosial dan ekonomi memaksa banyak negara melakukan eksperimentasi kelembagaan (institutional experimentation).
Lembaga
penunjang, oleh Alder11
disebut sebagai lembaga Non-departement
bodies, public agencies, commissions, board
dan authorities.
Oleh karena itu, lembaga-lembaga tersebut memiliki fungsi campuran
jika didudukan dalam konsep trias
politica. Dalam
konsep pemisahan kekuasaan antarfungsi dibedakan secara tegas antara
fungsi legislatif, penganggaran dan pengawasan. Namun lembaga
penunjang melewati batas-batas itu. Lembaga penunjang memiliki fungsi
sebagai pelaksana undang-undang (dalam hal ini masuk dalam
eksekutif), namun juga memiliki kewenangan untuk membuat
aturan-aturan yang dibutuhkan (fungsi legislatif). Karena
ketidaktegasan
kedudukan
dalam 3 pilar kekuasaan, ada pendapat dari Yves Meny dan Andrew
Knapp12
sebagai berikut:
Regulatory and monitoring bodies are a new type of autonomous administration wihich has been most widely developed in the United States (where it is sometimes referred to as the 'headless fourth branch' of the governement). It take the form of what are generally known as Independent Regulatory Commissions.
Mereka menyebut lembaga penunjang sebagai cabang keempat dari trias politica karena lembaga penunjang memiliki fungsi campuran dari fungsi cabang kekuasaan yang lain.
Regulatory and monitoring bodies are a new type of autonomous administration wihich has been most widely developed in the United States (where it is sometimes referred to as the 'headless fourth branch' of the governement). It take the form of what are generally known as Independent Regulatory Commissions.
Mereka menyebut lembaga penunjang sebagai cabang keempat dari trias politica karena lembaga penunjang memiliki fungsi campuran dari fungsi cabang kekuasaan yang lain.
Di
bawah ini adalah contoh lembaga penunjang dengan fungsi
pembentukannya:
a.
Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Badan
ini dibentuk dan diatur melalui UU nomor 15 tahun 2011. KPU memiliki
tugas untuk menyelenggarakan pemilihan umum. Secara fungsi, KPU
adalah pelaksana undang-undang (ekesekutif) sebagai panitia dalam
penyelenggaran pemilu. Namun KPU juga memiliki kewenangan untuk
membuat Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) untuk mengjatur
jalannya pemilihan yang belum diatur dalam undang-undang atau
peraturan di bawahnya. Maka secara fungsi, KPU memiliki fungsi
campuran antara eksekutif dan legislatif.
b.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
KPPU
dibentuk berdasarkan UU nomor 5 tahun 1999. Tugas utamanya adalah
mengawasi dunia usaha (bisnis), menyelidiki dan memutuskan perkara
persaingan usaha. Jika melihat fungsi tersebut maka KPPU kedudukannya
sebagai pelaksana UU nomor 5 tahun 1999 (eksekutif), namun juga
menempel hak untuk menyelidiki, memutus perkara dan menjatuhkan
sanksi yang sebenarnya fungsi itu ada di cabang kekuasaan Yudikatif.
KPPU juga memiliki kewenangan untuk membuat peraturan untuk mengatur
dunia usaha melalui peraturan komisi (fungsi legislatif). Percampuran
fungsi dalam KPPU adalah fungsi Eksekutif, legislatif dan fungsi
Yudikatif13.
c.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
-
Menetapkan standar program siaran
-
Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran (diusulkan oleh asosiasi/masyarakat penyiaran kepada KPI)
-
Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran
-
Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran
-
Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat
BAB
III
PEMBAHASAN
III.1.
SEJARAH BERDIRINYA BAWASLU
Istilah
pengawasan pemilu muncul di era tahun 1980. Melalui halaman website
http://www.bawaslu.go.id/id/profil/sejarah-pengawasan-pemilu
Bawaslu menulis sejarah munculnya pengawasan pemilu dan
perkembangannya. Saat itu para partai politik pesaing partai Golongan
Karya (Golkar) yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) gencar melakukan protes tindak kecurangan
yang terjadi pada pemilu tahun 1971 dan 1977. Presiden Soeharto yang
waktu itu sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara
kemudian merespon dengan merevisi UU pemilu dan memasukkan unsur
partai politik ke dalam kepanitian penyelenggaraan pemilu. Sehingga
pada pemilu tahun 1982 telah lahir badan baru yang dinamakan Panitia
Pengawas Pelaksana Pemilu (Panwaslak Pemilu) yang bertugas mengawasi
penyelenggaraan pemilu. Panwaslak Pemilu bersama dengan Lembaga
Pemilihan Umum (LPU) menjadi satu lembaga panitia penyelenggara
pemilu yang kedudukannya berada di Departemen Dalam Negeri saat itu.
Pasca
reformasi, dibentuklah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diharapkan
dapat menjadi penyelenggara pemilihan umum yang mandiri dan
independen. Pengawas pemilu yang sebelumnya bernama Panwaslak pemilu
juga berubah menjadi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) namun masih
dalam satu organisasi kelembagaan KPU. Para anggota Panwaslu dipilih
oleh anggota KPU sehingga Panwaslu keberadaannya ada dibawah
koordinasi KPU. Baru tahun 2003 melalui undang-undang nomor 12 tahun
2003, Panwaslu lepas dari kelembagaan KPU dan menjadi organisasi
tersendiri meliputi Panwaslu, Panwaslu Provinsi, panwaslu
Kabupaten/Kota, dan Panwaslu kecamatan namun masih bersifat adhoc
atau
sementara. Kemudian pada tahun 2007 diberlakukan secara tetap dengan
nama Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dengan adanya adanya UU
nomor 22 tahun 1997 dan penambahan struktur hingga ke level
kelurahan. Dalam UU nomor 22 tahun 1997 itu, kewenangan dalam
merekruit panitia pengawas pemilu masih dimiliki oleh KPU. Lalu
kemudian Bawaslu melakukan uji materi UU itu ke Mahkamah Konstitusi
dan hasilnya MK memutus bahwa kewenangan rekruitmen panitia Panwaslu
berada di Bawaslu. Hingga seterusnya lembaga Bawaslu perannya semakin
diperkuat dengan berbagai kewenangan yang diatur melalui UU
penyelenggaraan pemilu, walaupun di sisi lain juga masih ada
pembatasan di proses pembuatan peraturan Bawaslu.
III.2.
VISI, MISI, TUGAS, WEWENANG DAN KEWAJIBAN15
Visi
Terwujudnya
Bawaslu sebagai Lembaga Pengawal Terpercaya dalam Penyelenggaraan
Pemilu Demokratis, Bermartabat, dan Berkualitas.
Misi
-
Membangun aparatur dan kelembagaan pengawas pemilu yang kuat, mandiri dan solid;
-
Mengembangkan pola dan metode pengawasan yang efektif dan efisien;
-
Memperkuat sistem kontrol nasional dalam satu manajemen pengawasan yang terstruktur, sistematis, dan integratif berbasis teknologi;
-
Meningkatkan keterlibatan masyarakat dan peserta pemilu, serta meningkatkan sinergi kelembagaan dalam pengawasan pemilu partisipatif;
-
Meningkatkan kepercayaan publik atas kualitas kinerja pengawasan berupa pencegahan dan penindakan, serta penyelesaian sengketa secara cepat, akurat dan transparan;
-
Membangun Bawaslu sebagai pusat pembelajaran pengawasan pemilu baik bagi pihak dari dalam negeri maupun pihak dari luar negeri.
Tugas,
Wewenang, dan Kewajiban Pengawas Pemilu berdasarkan amanat
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu adalah
sebagai berikut :
-
Mengawasi Penyelenggaraan Pemilu dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran untuk terwujudnya Pemilu yang demokratis. Tugas tersebut secara singkat dalam diuraikan sebagai berikut :
-
Mengawasi persiapan penyelenggaraan Pemilu;
-
Mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu;
-
Mengawasi pelaksanaan Putusan Pengadilan;
-
Mengelola, memelihara, dan marawat arsip/dokumen;
-
Memantau atas pelaksanaan tindak lanjut penanganan pelanggaran pidana Pemilu;
-
Mengawasi atas pelaksanaan putusan pelanggaran Pemilu;
-
Evaluasi pengawasan Pemilu;
-
Menyusun laporan hasil pengawasan penyelenggaraan Pemilu;
-
Melaksanakan tugas lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
-
-
Wewenang Pengawas Pemilu sebagai berikut :
-
Menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu
-
Menerima laporan adanya dugaan pelanggaran administrasi Pemilu dan mengkaji laporan dan temuan, serta merekomendasikannya kepada yang berwenang
-
Menyelesaikan sengketa Pemilu
-
Membentuk, mengangkat dan memberhentikan Pengawas Pemilu di tingkat bawah
-
Melaksanakan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
-
-
Kewajiban Pengawas Pemilu sebagai berikut :
-
Bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya;
-
Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Pengawas Pemilu pada semua tingkatan;
-
Menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu;
-
Menyampaikan laporan hasil pengawasan sesuai dengan tahapan Pemilu secara periodik dan/atau berdasarkan kebutuhan; dan
-
Melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
-
III.3.
MEKANISME SELEKSI ANGGOTA BAWASLU
Mekanisme
seleksi anggota Bawaslu hingga pengesahan telah diatur dalam UU nomor
15 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu dari pasal 86 – 90.
a.
Pembentukan Tim Seleksi
Presiden
membentuk Tim Seleksi yang terdiri dari 11 orang yang berasal dari
unsur pemerintah dan masyarakat dengan memperhatikan keterwakilan
perempuan. Tim Seleksi bertugas membantu Presiden menyeleksi dan
menetapkan calon anggota Bawaslu sebanyak 10 orang yang nantinya akan
diajukan oleh Presiden ke DPR untuk dilakukan pemilihan. Tahapan
seleksi yang akan dilakukan Tim Seleksi adalah16:
a.
mengumumkan pendaftaran calon anggota Bawaslu pada media massa cetak
harian dan media massa elektronik nasional;
b. menerima pendaftaran bakal calon anggota Bawaslu;
c. melakukan penelitian administrasi bakal calon anggota Bawaslu;
d. mengumumkan hasil penelitian administrasi bakal calon anggota Bawaslu;
e. melakukan seleksi tertulis dengan materi utama pengetahuan mengenai Pemilu;
f. melakukan tes kesehatan;
g. melakukan serangkaian tes psikologi;
h. mengumumkan nama daftar bakal calon anggota Bawaslu yang lulus seleksi tertulis, tes kesehatan, dan tes psikologi untuk mendapatkan masukan dan tanggapan masyarakat;
b. menerima pendaftaran bakal calon anggota Bawaslu;
c. melakukan penelitian administrasi bakal calon anggota Bawaslu;
d. mengumumkan hasil penelitian administrasi bakal calon anggota Bawaslu;
e. melakukan seleksi tertulis dengan materi utama pengetahuan mengenai Pemilu;
f. melakukan tes kesehatan;
g. melakukan serangkaian tes psikologi;
h. mengumumkan nama daftar bakal calon anggota Bawaslu yang lulus seleksi tertulis, tes kesehatan, dan tes psikologi untuk mendapatkan masukan dan tanggapan masyarakat;
Salahsatu
anggota Bawaslu periode 2017 – 2022, Fritz Edward Siregar,
mengatakan bahwa dia mendapatkan informasi mengenai seleksi anggota
Bawaslu dari temannya melalui media pesan Whatsapp.
Setelah mendapatkan informasi tersebut Fritz kemudian mendaftarkan
diri dengan berkas-berkas yang dipersyaratkan. Metode seleksi memakai
tertulis, wawancara, tes psikologis, dan tes kesehatan secara
menyeluruh. Materi yang diujikan meliputi berbagai hal tentang
penyelenggaraan pemilu, peraturan perundang-undangan dan opini
terhadap beberapa kejadian dalam penyelenggaran pemilu17.
Menurut Fritz, materi yang diujikan dalam Tim Seleksi semua relevan
dengan tugas dan tanggungjawab lembaga Bawaslu. Selain itu, dia juga
menilai bahwa anggota Tim Seleksi adalah orang-orang kompeten di
bidang tata negara khususnya penyelenggaraan pemilu. Tim Seleksi
mengharuskan semua calon anggota Bawaslu menandatangani komitmen
untuk tidak berkomunikasi dengan DPR anggota komisi II agar tidak
terjadi lobi-lobi di belakang proses resmi.
Tim
Seleksi melakukan semua tahapan di atas dengan waktu maksimal 3 bulan
setelah Tim Seleksi terbentuk. Semua tahapan dalam proses seleksi
harus dilaporkan kepada DPR komisi II yang membidangi mengenai
penyelenggaraan pemilu.
b.
Pengajuan Ke DPR
Tim
Seleksi menyerahkan daftar 10 orang calon anggota Bawaslu hasil dari
proses seleksi kepada Presiden. Maksimal 14 hari setelah daftar calon
anggota Bawaslu diterima, maka Presiden harus mengajukan daftar
tersebut ke DPR komisi II. DPR memiliki waktu 30 hari setelah daftar
calon anggota Bawaslu diterima, untuk dilakukan uji kelayakan dan
kepatutan. Menurut Fritz, uji kelayakan dan Kepatutan dengan tatap
muka yang dilakukan DPR berlangsung hanya 1 hari yang kemudian
dilanjutkan dengan pemilihan. 10 orang calon anggota Bawaslu
dihadirkan di Komisi II DPR dan mendapatkan berbagai pertanyaan dari
anggota DPR. Karena waktunya bersamaan maka antarcalon anggota
Bawaslu dapat mendengar jawaban atau tanggapan dari calon anggota
yang lainnya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan anggota DPR masih
seputar soal penyelenggaraan pemilu dan bentuk-bentuk koordinasi
dengan DPR. Anggota DPR juga mempertanyakan berbagai kontroversi yang
sedang terjadi seperti KPU yang sedang mengajukan uji materi UU
Pilkada yang mengatur soal keputusan Rapat Dengar Pendapat yang
mengikat terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Hal itu
juga ditanyakan kepada calon anggota Bawaslu karena peraturan Bawaslu
juga mengacu kepada Rapat Dengar Pendapat. Jawaban Fritz ketika
mendapat pertanyaan itu ada, dia akan melakukan apa yang telah
diperintahkan oleh undang-undang.
Menurut
Fritz, proses uji kelayakan dan kepatutan sejatinya bukanlah menguji
kompetensi dari para calon anggota Bawaslu. Karena dia berpandangan,
10 orang calon anggota Bawaslu semuanya memiliki kompetensi untuk
menjadi anggota Bawaslu dan terbukti sudah teruji di Tim Seleksi. Dia
menambahkan bahwa proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR
dibutuhkan untuk menguji chemistry
atau
kecocokan sebagai mitra kerja. Fritz menilai, DPR membutuhkan anggota
Bawaslu yang kompeten dan bisa berkoordinasi baik dengan komisi II
selaku mitra kerja. Bahkan Fritz memberi analogi uji kelayakan dan
kepatutan seperti seseorang yang memilih jodohnya.
Setelah
dilakukan sesi tanya jawab antara Komisi II DPR dengan 10 calon
anggota Bawaslu, kemudian Komisi II DPR mengelar pemilihan tertutup.
Dari 10 orang calon anggota Bawaslu, DPR harus memilih 5 orang yang
akan duduk sebagai anggota Bawaslu. Pemilihan dilakukan tertutup
(voting) dengan memilih nama. Nama yang mendapatkan suara tertinggi 5
besar itulah yang terpilih sebagai anggota Bawaslu. Setelah Komisi II
selesai memilih 5 calon anggota Bawaslu maka kemudian daftar nama
tersebut diserahkan kepada Presiden. Kemudian Presiden memiliki waktu
5 hari kerja untuk melakukan pengesahan melalui Keputusan Presiden.
III.4.
Kedudukan Bawaslu dan DPR
Sesuai
yang telah dibahas di bab Kajian Pustaka tentang state
auxiliary bodies atau
lembaga penunjang, Bawaslu adalah salahsatu lembaga penunjang yang
dibentuk berdasar UU nomor 15 tahun 2011.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diamanatkan secara langsung dalam UUD
1945 amandemen. Indonesia sudah tidak menganut sistem pembagian
kekuasaan lagi di mana sebelum UUD 1945 diamandemen, MPR adalah
lembaga tertinggi negara. Melalui UUD 1945 amandemen, sistem
pembagian kekuasaan yang sebelumnya pembagian kekuasaan diganti
dengan pemisahan kekuasaan. Dengan pergantian itu artinya tidak ada
lembaga negara yang kedudukannya lebih di atas dibandingkan lembaga
yang lain dalam cabang kekuasaan.
Dengan
demikian posisi DPR dengan Bawaslu adalah setara dan independen. Jika
dikaitkan dengan penyelenggaraan pemilu, DPR sebagai legislator
membuat undang-undang untuk pengaturan terkait penyelenggaraan
pemilu. Sedangkan Bawaslu melaksanakan segala tugas dan fungsi yang
diamanatkan di dalam undang-undang. Sedangkan aturan-aturan yang
tidak diatur lebih detail dalam aturan undang-undang maupun
turunannya diatur lebih lanjut dalam peraturan Bawaslu. Selain itu
DPR juga memiliki kewenangan dalam melakukan pengawasan kepada
Bawaslu dalam penyelenggaraan pemilu.
Kedudukan
DPR dan Bawaslu yang setara dalam ketatanegaraan Indonesia ternyata
tidak tercermin dalam proses seleksi anggota Bawaslu karena DPR
menjadi penentu calon anggota yang akan duduk sebagai anggota
Bawaslu. Hak memilih anggota Bawaslu itu yang kemudian menjadi bias
pandangan bahwa DPR berada dalam kedudukan yang lebih tinggi karena
sebagai pembuat undang-undang dan pihak yang menentukan terpilihnya
anggota Bawaslu.
III.4.
CONTOH KASUS PERSETERUAN DPR DENGAN LEMBAGA LAIN
a.
DPR VS KPU
Ketua
Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman menilai Komisi Pemilihan Umum (KPU)
tak perlu menggugat pasal 9 dalam Undang-undang (UU) nomor 10 tahun
2016 tentang Pilkada. Pasal itu menyebutkan KPU wajib berkonsultasi
dengan pemerintah dan DPR dalam menyusun dan menetapkan peraturan KPU
(PKPU)18.
"Sejak
awal itu yang kita khawatirkan, DPR meminta perubahan peraturan KPU
soal pencalonan anggota legislatif. Khawatir ini dijadikan barter
pasal, di mana saat ini terlalu kentara potensi intervensinya, "
kata Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat
(JPPR) Yus Fitriadi dalam keterangan tertulisnya, Kamis
(18\/4\/2013)19
b.
DPR VS KPK
Pengajuan
hak angket oleh DPR bergulir dikarenakan pernyataan KPK yang tetap
menolak membuka rekaman BAP Miryam. Ada dua kasus berbeda yang
melibatkan Miryam, yang pertama sebagai saksi untuk kasus dengan
tersangka Irman Gusman dan Sugiharto, yang kedua kasus yang menjerat
Miryam sebagai tersangka memberi keterangan palsu.
BAP Miryam untuk kasus kedua yang diminta DPR untuk dibuka. KPK menolak rekaman pemeriksaan tersebut dibuka karena kasus masih belum sampai di pengadilan. Di pengadilan, Miryam juga menyebut sejumlah nama anggota Komisi III yang menurutnya menekan dia terkait kasus korupsi e-KTP20.
BAP Miryam untuk kasus kedua yang diminta DPR untuk dibuka. KPK menolak rekaman pemeriksaan tersebut dibuka karena kasus masih belum sampai di pengadilan. Di pengadilan, Miryam juga menyebut sejumlah nama anggota Komisi III yang menurutnya menekan dia terkait kasus korupsi e-KTP20.
DPR
mengirimkan nota keberatan pencekalan Setya Novanto ke Presiden Joko
Widodo. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyebut Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) adalah lembaga independen yang tidak bisa diintervensi
oleh siapapun21.
c.
DPR VS Komnas HAM
Wakil
Ketua Komisi III Almuzammil Yusuf mengatakan, pihaknya memberi Komnas
HAM waktu paling lama satu bulan untuk menyelesaikan konflik dan
melaporkan hasilnya kepada Komisi III. Jika dalam waktu yang
ditentukan konflik tersebut tidak selesai, maka Komisi III akan
mengambil alih dengan memfasilitasi pemilihan jabatan ketua yang
baru22.
Dari
berbagai kasus yang terjadi di atas, DPR menggunakan berbagai
kewenangannya yang luas untuk mengintervensi kinerja lembaga lain.
PKPU yang diikat dengan Rapat Dengar Pendapat, UU Pemberantasan
Korupsi berkali-kali ingin direvisi, dan Komnas yang diancam dengan
kewenangan penganggaran. Lembaga-lembaga yang berkonflik dengan DPR
di atas, para pimpinan atau anggotanya dipilih oleh DPR. Sehingga
posisi kontrol DPR berada sejak sebelum menjabat dengan pemilihan dan
setelah menjabat dengan fungsi peraturan, penganggaran dan
pengawasan. Terlihat sekali bahwa DPR sekarang ini memiliki
kewenangan yang sangat kuat terhadap suatu lembaga.
Walaupun
dalam konstitusi jika terjadi persengketaan antarlembaga maka bisa
diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi, namun kenyataannya konflik
yang muncul lebih banyak terkait politik.
III.5.
Efektifitas Pemilihan Melalui DPR
Jika
melihat pertama
proses
seleksi yang telah diatur dalam UU nomor 15 tahun 2011, DPR memiliki
peran yang sentral dalam menentukan siapa yang akan duduk sebagai
anggota Bawaslu. Walaupun Tim Seleksi yang memilih para calon anggota
Bawaslu, namun pada akhirnya DPR lah yang menentukan hasil akhirnya.
Secara materi untuk menguji kompetensi jika melihat pengalaman yang
disampaikan Fritz Edward Siregar, tempatnya adalah di Tim Seleksi.
Tim Seleksi berisikan orang-orang yang memiliki pengalaman,
integritas dan pengetahuan untuk melakukan seleksi. Sedangkan peran
DPR lebih untuk melihat kecocokan dalam bekerjasama bersama DPR.
Walaupun demikian, menurut Fritz tetap diperlukan peran DPR dalam
memilih calon anggota Bawaslu. Dia memberi alasan bahwa DPR dan
Bawaslu adalah mitra kerja, sehingga dibutuhkan kecocokan. Selain
itu, Bawaslu juga membutuhkan DPR ketika Bawaslu mengalami kendala
terhadap pihak-pihak lain melalui jalur prosedural gagal. DPR bisa
membantu Bawaslu melalui jalur politik karena DPR adalah anggota
partai.
Chemistry
atau
“Kecocokan” yang diinginkan dalam kerangka koordinasi antara
komisi II DPR dan Bawaslu tidaklah beralasan. Koordinasi DPR dengan
Bawaslu bukanlah pasangan pejabat politik seperti Presiden dan Wakil
Presiden yang mengharuskan adanya kekompakan dalam menjalankan
pemerintahan. DPR dan Bawaslu adalah lembaga yang masing-masing
memiliki independensi dalam melaksanakan fungsi dan perannya
masing-masing. DPR sesuai salahsatu fungsinya adalah melakukan
pengawasan kepada eksekutif maupun badan-badan lainnya, namun tidak
dalam rangka mencari kecocokan. Jika pertimbangan utama adalah
kecocokan maka dikhawatirkan justru fungsi pengawasan tidak akan
terjadi seperti yang diharapkan.
Kedua,
pengalaman
berbagai kasus yang telah diuraikan sebelumnya maka peran DPR sudah
tidak efektif dan relevan lagi dalam proses seleksi pemilihan anggota
Bawaslu. Seleksi kompetensi anggota Bawaslu berada di tangan Tim
Seleksi bentukan Presiden dan pengesahan dilakukan oleh Presiden
melalui Keputusan Presiden. DPR tetap bisa melakukan checks
and balances
melalui kewenangannya legislasi, penganggaran dan pengawasan. Maksud
fungsi pengawasan seharusnya tidak diperluas hingga pada hak memilih.
Pengawasan mesti dikembalikan pada arti mengawasi kinerja lembaga
dalam menjalankan undang-undang.
Ketiga,
DPR
walaupun dipilih oleh rakyat namun mereka adalah anggota partai
politik yang notabene adalah peserta pemilu. Tidak pada kedudukannya
jika panitia pemilu dipilih oleh peserta pemilu. Hal itu akan
menimbulkan konflik kepentingan dari peserta pemilu kepada panitia
pemilu, apalagi peserta pemilu memakai kewenangan wakil rakyat untuk
melakukan kontrol
terhadap
panitia pemilu yaitu Bawaslu.
BAB
IV
KESIMPULAN
Bawaslu
adalah lembaga penunjang yang dibentuk oleh UU nomor 15 tahun 2011
sebagai penyelenggara pemilihan umum dalam fungsi pengawasan. Untuk
menjalankan fungsi itu, Bawaslu dituntut untuk bisa bekerja secara
mandiri dan independen sesuai cita-cita reformasi dalam bidang
perbaikan birokrasi dan demokratisasi. Pada realitasnya harapan
independensi kelembagaan itu masih tersangkut dengan DPR. Tiga fungsi
DPR yaitu legislasi, penganggaran dan pengawasan yang selama ini
sudah ada mengalami perluasan khususnya dibidang pengawasan. DPR yang
juga sebagai anggota partai politik melalui undang-undang berhak
memilih anggota Bawaslu. Selain itu berdasar pada kedudukan
kelembagaan Badan Pengawas Pemilu yang dibentuk oleh undang-undang,
bukanlah jalur subordinatif
dari lembaga lain khususnya DPR. Indonesia tidak mengenal lagi
istilah lembaga tertinggi negara, namun yang ada adalah lembaga
negara. Konsep kekuasaan juga bukan lagi pembagian kekuasaan namun
pemisahan kekuasaan sesuai doktrin trias
politica. Berikutnya
adalah banyaknya konflik yang dilakukan DPR kepada lembaga penunjang
menunjukkan DPR melalui kewenangannya dapat melakukan intervensi dan
dikhawatirkan tersusupi kepentingan politik.
Berdasar
berbagai uraian pembahasan di atas maka penelitian ini menyimpulkan
bahwa peran DPR dalam pemilihan anggota Bawaslu harus ditinjau ulang
karena rentan disusupi kepentingan politik dan menurunkan derajat
independensi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
DAFTAR
REFERENSI
-
Jimly Ashiddiqie. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Mahkamah Konstitusi, 2006.
-
Arifin, Firmansyah dkk. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara. Jakarta: Konsorsium Pembaharuan Hukum Nasional dan Mahkamah Kosntitusi Republik Indonesia, 2005.
-
Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2006. -
Ahmad Basarah. Kajian Teoritis Terhadap Auxiliary State’s Organ Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia. MMH. Jilid 43 No.1. Jakarta, Januari 2014.
-
https://www.menpan.go.id/kelembagaan/792-daftar-kelembagaan-2, diakses 03 Juni 2017.
-
UU nomor 15 tahun 2011, Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum
-
Wawancara dengan Fritz Edward Siregar, salahsatu anggota Bawaslu 2017-2022
1https://news.detik.com/berita/d-3472482/dpr-keberatan-novanto-dicekal-jk-presiden-tak-bisa-intervensi-kpk,
diakses 04 Juni 2017
3Jimly
Ashiddiqie. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi. Jakarta: Mahkamah Konstitusi, 2006.
4Arifin,
Firmansyah dkk. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga
Negara. Jakarta: Konsorsium Pembaharuan Hukum Nasional dan Mahkamah
Kosntitusi Republik Indonesia, 2005.
6Jimly
Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2006: 11-13.
Mahkamah Konstitusi RI, 2006: 11-13.
7Id.,
hlm.13.
8Id.,
hlm.23.
9Ahmad
Basarah. Kajian Teoritis Terhadap Auxiliary State’s Organ Dalam
Struktur Ketatanegaraan Indonesia. MMH. Jilid 43 No.1. Jakarta,
Januari 2014.
10Id,
hlm 2.
11Id,
hlm 4.
12Id,
hlm 4.
13http://www.kppu.go.id/id/tentang-kppu/tugas-dan-wewenang/,
diakses 05 Juni 2017
14https://www.kpi.go.id/index.php/id/pengawasan-penyiaran,
diakses 05 Juni 2017
15http://www.bawaslu.go.id/id/profil/tugas-wewenang-dan-kewajiban,
diakses 05 Juni 2017
16Pasal
87, UU nomor 15 tahun 2011
17Wawancara
dengan Fritz Edward Siregar, salahsatu anggota Bawaslu 2017-2022
Komentar
Posting Komentar