MARY JANE
Di Balik 2,6 Kg Heroin Mary
Jane1
(Sebuah ulasan berita “Jejak
Narkotik Tetangga Di Esguerra” dalam Laporan Utama Majalah Tempo
edisi 10 Mei 2015)
Oleh: Guntoro2
Peristiwa
detik-detik eksekusi 9 orang terpidana mati di pulau Nusakambangan
pada 29 April 2015 dini hari menyita perhatian publik. Selain karena
adanya pro kontra hukuman mati, namun juga karena ada 1 orang
terpidana mati yaitu Mary Jane yang eksekusinya dibatalkan dengan
alasan adanya bukti baru yang memberi petunjuk bahwa yang
bersangkutan diduga sebagai korban perdagangan manusia.
Salahsatu
media yang mencoba mengulas Mary Jane dan latar belakangnya adalah
majalah Tempo edisi 10 Mei 2015. Melalui Laporan utama yang diberi
judul “Jejak Narkotik Tetangga Di Esguerra”, wartawan Tempo
mencoba mengumpulkan berbagai informasi hingga ke Desa Esguerra
Filipina tempat tinggal Mary Jane dan keluarganya. Beberapa
narasumber yang berasal dari dalam negeri antara lain petugas bandara
Adi Sucipto (pemeriksa Mary Jane ketika di bandara), Komnas Perempuan
dan Migrant Care juga menjadi rujukan.
Ada
beberapa hal yang bisa kita tangkap dalam berita tersebut.
Pertama, Mary Jane berasal dari keluarga yang miskin. Tempo
menyajikan foto kondisi rumah Mary Jane yang kecil dan tidak layak
huni. Orang tua Mary Jane pun juga miskin yang berprofesi sebagai
pengumpul kardus dan barang bekas. Berita ini juga mengungkap kisah
kelam Mary Jane yang sebelumnya pernah bekerja di Dubai dan mengalami
pelecehan seksual. Termasuk juga bagaimana Mary Jane bersama suami
mengalami kegagalan ketika berdagang keliling. Hingga akhirnya
kemiskinan membuat Mary Jane menerima bujuk rayu Krsitina yang adalah
tetangganya supaya mau bekerja di Malaysia dengan membayar 20 ribu
peso atau sekitar 5,8 juta rupiah. Kedua, Mary Jane adalah
korban perdagangan manusia. Biro Nasional Investigasi (NBI) Filipina
telah mengkonfirmasi bahwa Kristina tidak memiliki otoritas untuk
melakukan perekrutan tenaga kerja yang akan dibawa keluar negeri.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Republik Indonesia Agung
Tony Spontana juga menyatakan bahwa Mary Jane eksekusinya ditunda
karena dia dibutuhkan untuk penyelidikan kasus perdagangan manusia
yang melibatkan Krsitina. Pernyataan pejabat Filipina dan Indonesia
ini memperkuat dugaan bahwa Mary Jane adalah korban dari perekrutan
tenaga kerja migran secara ilegal alias perdagangan manusia. Ketiga,
Mary Jane tidak mengetahui isi tas hitam yang dia bawa. Ketua Komnas
perempuan dan penerjemah mary Jane menuturkan selama di persidangan
Mary Jane berkali-kali sambil menangis mengatakan dia tidak
mengetahui isi tas hitam tersebut dan hanya disuruh oleh temannya
yaitu Kristina. Keterangan dari petugas bandara Adi Sucipto juga
menyatakan bungkusan aluminium foil tersebut posisinya berada
di balik kulit tas hitam.
Keempat,
Kristina adalah bagian dari sindikat besar perdagangan manusia dan
narkoba. Melalui penuturan Edward Lauren (ipar Mary Jane), setelah
orang tua Mary Jane mendengar kabar Mary Jane ditangkap kepolisian
Indonesia, mereka lalu mendatangi Kristina untuk meminta
pertanggungjawaban. Kristina mengatakan bahwa “Kami sindikat besar
dan siap membayar jutaan Peso”. Bahkan setelah Mary Jane tertangkap
pun Kristina masih beraktivitas seperti biasa mengajak orang untuk
bekerja di luar negeri. Pernyataan Kristina ini adalah bukti kuat
bahwa Mary Jane masuk dalam jebakan sindikat narkoba. Kristina tidak
bekerja sendirian. Dia diketahui bertemu dengan seseorang yang
bernama Ike di tempat parkir hotel di Kuala lumpur untuk mengambil
tas yang kemudian diserahkan kepada Mary Jane. Kelima, Mary
Jane didukung oleh banyak pihak. Tempo menuliskan kabar pembatalan
eksekusi Mary Jane disambut kegembiraan ratusan orang yang mengadakan
unjukrasa di depan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Manila. Dalam
berita ini juga disertakan foto aksi damai di depan Istana Merdeka
Jakarta yang dilakukan oleh komunitas buruh migran untuk menuntut
dihapuskannya hukuman mati.
Laporan
yang dituliskan Tempo terkait kasus Mary Jane ini termasuk dalam
kategori investigative reporting3
atau biasa juga disebut sebagai jurnalisme investigasi. Tempo
mencoba menggali lebih dalam tentang sosok Mary Jane untuk memberikan
gambaran lain kepada khalayak selain kasus pidana yang hanya berisi
pasal, barang bukti dan proses persidangan. Investigasi ini juga
menelusuri kronologi Mary Jane hingga dia tertangkap di Yogyakarta.
Melalui berbagai narasumber di sekitar keluarga Mary Jane, pengamatan
lapangan, pengamatan media Filipina, narasumber lembaga negara
terkait, penerjemah Mary Jane dan NGO buruh migrant, Tempo mengungkap
keterkaitan berbagai fakta dan pernyataan. Alur tulisan yang
disuguhkan memberikan pemahaman kepada pembaca bahwa Mary Jane adalah
korban perdagangan manusia yang dimanfaatkan untuk peredaran narkoba
oleh sindikat besar internasional. Layaknya Fredi Budiman, Jika Mary
Jane dimatikan, maka sindikat besar dan backingnya akan aman.
1
Tugas kuliah STIH Jentera
2
Mahasiswa Jentera angkatan 2016
Komentar
Posting Komentar