PERDA SYARIAH
PERDA BERNUANSA AGAMA
Bulan
Juni 2016 silam media massa dan sosial dihebohkan adanya peristiwa
yang dialami oleh Ibu Saeni dari kota Serang Banten yang dagangan
makanannya diambil paksa atau disita oleh Satuan Polisi Pamong Praja
atau Satpol PP kota Serang. Peristiwa ini terjadi pada sebuah razia
yang digelar oleh Satpol PP di pasar Rau kota Serang. Ibu Saeni
kedapatan sedang membuka warung makanannya di siang hari saat bulan
puasa. Satpol PP berdalil bahwa penyitaan makanan tersebut sudah
sesuai dengan prosedur yang diatur dalam Peraturan Daerah (perda)
kota Serang nomor 2 tahun 2010 tentang pencegahan, pemberantasan, dan
penanggulangan penyakit masyarakat (Pekat). Peristiwa itu memunculkan
kecaman dari berbagai pihak meskipun ada juga yang terang-terangan
mendukung apa yang dilakukan pihak satpol PP salahsatunya Majelis
Ulama Indonesia cabang kota Serang.
Kasus
Ibu Saeni tersebut menggelinding
dari
persoalan kemanusiaan hingga ke persoalan agama. Banyak yang melihat
Ibu Saeni hanyalah seorang pedagang kecil yang sedang mencari nafkah,
namun di pihak lain melihat Ibu saeni telah melanggar sikap
menghargai warga muslim yang sedang berpuasa yang kemudian diatur
dalam aturan hukum berbentuk Perda. Perdebatan antarpejabat juga
mewarnai peristiwa itu. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meminta
Perda nomor 2 tahun 2010 tersebut direvisi. Walikota Serang juga
menyayangkan insiden tersebut dan meminta kepada Satpol PP agar lebih
persuasif dalam menerapkan perda nomor 2 tahun 2010. Dia mengatakan
bahwa seharusnya dagangan Ibu saeni tidak perlu disita, cukup ditegur
saja agar warungnya ditutup dan sore bisa berjualan kembali.
Dalam
konteks sistem hukum di Indonesia, peristiwa di atas menjadi menarik
untuk dikaji lebih jauh terkait adanya peraturan daerah yang
mengakomodir kepentingan agama tertentu, dalam hal ini agama Islam.
Peraturan Daerah Kota Serang nomor 2 tahun 2010 tentang Pencegahan,
Pemberantasan dan Penanggulangan penyakit Masyarakat (Pekat), hanya
salahsatu contoh Perda bernuansa agama di Indonesia. Kemunculan
Perda-Perda yang mengakomodir agama khususnya Islam tidak lepas dari
sejarah tekanan dan intimidasi umat islam ketika era Presiden
Soeharto.
Orde
Baru ditandai dengan kekuasaan yang sentralistik dan penuh intimidasi
dan teror. Soeharto tidak menghendaki adanya kekuatan-kekuatan yang
bisa menganggu stabilitas kekuasaannya. Sebagai alat propaganda untuk
menaklukan berbagai ideologi dan keyakinan, Soeharto memberi makna
Pancasila sebagai ideologi tunggal dan tidak membiarkan ideologi atau
keyakinan lain berkembang. Islam menjadi salahsatu yang terbatas
ruang geraknya. Kita ambil contoh Aceh yang menginginkan adanya
penerapan syariat Islam hingga terjadi pemberontakan GAM karena tidak
diakomodir oleh Soeharto. Penguasa Orde Baru tidak menginginkan
adanya pluralisme hukum yang mengakibatkan berkurangnya daya kontrol
dari dirinya.
Setelah
Soeharto Jatuh, masuklah kita di era Reformasi. Perubahan yang sangat
mendasar dalam sistem pemerintahan kita dengan adanya otonomi daerah.
Dengan sistem itu, kekuasaan pusat mulai dibagi ke daerah kecuali
beberapa hal yang tetap menjadi wewenang pusat sesuai UU nomor 32
tahun 2004. Hal lain yang juga mendasar adalah pemilihan presiden,
legislatif, dan kepala daerah secara langsung yang sebelumnya selalu
kita wakilkan kepada partai politik. Era keterbukaan dan pemilihan
langsung ini membuka saluran-saluran demokrasi semakin lebar. Semua
warganegara mempunyai peluang yang sama untuk dipilih menjadi pejabat
publik baik melalui mekanisme partai maupun independen bagi kepala
daerah. Karena rakyat memilih calon pemimpinnya secara langsung maka
para calon berlomba-lomba mendekati rakyat dengan berbagai cara. Sisi
baiknya, suara rakyat menjadi sangat berharga karena setiap suara
sangat menentukan kemenangan. Sisi buruknya, pemilihan secara
langsung membutuhkan biaya yang sangat mahal karena para calon harus
melakukan mobilisasi massa dan suara.
Menurut
penelitian dari Michael Buehler1,
seorang guru besar madya Ilmu Politik Universitas Northern Illinois,
yang dimuat di Tempo, para politikus tidak memiliki basis massa riil
yang cukup kuat. Oleh karena itu mereka membangun pengaruh bersifat
pribadi kepada jaringan-jaringan yang memiliki massa seperti
kelompok-kelompok Islam. Kalangan Islam yang juga merasakan kekangan
selama rejim Soeharto mendapat kesempatan untuk kembali muncul dan
memanfaatkan momentum demokrasi untuk memasukan agenda ke-Islaman-an.
Kelompok Islam ini yang kemudian digunakan oleh politikus sebagai
lumbung suara. Sebagai timbal balik dan menjaga kesetiaan massa maka
kalangan Islam diakomodir dan diikat melalui berbagai Perda-Perda
yang bernuansa agama. Masih dari hasil penelitian yang sama, para
politikus yang mengakomodir perda agama ini justru bukan berasal dari
partai Islam atau yang berbasis agama, namun justru Golkar dan PDIP.
Ini ditunjukan Buehler dengan angka 60% daerah yang mempunyai perda
bernuansa agama, pemimpin daerahnya berafiliasi dengan Golkar. Data
Buehler itu membuktikan bahwa latar belakang munculnya perda
bernuansa agama bukanlah persoalan orientasi atau ideologi dari
pemimpin kepala daerahnya, namun lebih pada strategi politik untuk
mengikat konstituen. Maka tak heran jika Majalah Tempo pada tahun
2011 pernah merilis adanya 150 perda yang bernuansa agama tersebar di
berbagai wilayah di Indonesia, tidak terkecuali perda yang non
muslim.
Implikasi
Efek
yang muncul dengan adanya peraturan daerah yang bernuansa agama ini
sudah terjadi di berbagai tempat. Selain menimpa Ibu Saeni yang saya
tuliskan di awal makalah ini, ada juga yang Pemkot Kota Banjarmasin
yang mengerahkan Satpol PP untuk merazia perempuan berpakaian minim
dan masih keluar rumah di malam hari. Tindakan itu sebagai
tindaklanjut dari kebijakan Peraturan Walikota tentang Magrib
Mengaji. Ada juga yang berasal dari agama lain yaitu Kristen, yaitu
daerah Manokwari. Mereka membuat rancangan Peraturan Daerah yang
ingin menetapkan daerahnya sebagai kota Injil. Dalam Raperda itu
tercantum adanya larangan memakai jilbab, adzan dan kegiatan non
gereja setiap hari Minggu2.
Setara Institute pernah menyatakan, jika kebebasan beragama dan
berkeyakinan di Indonesia telah banyak dilanggar, dimana salah satu
pemicunya adalah kehadiran Perda bernuansa agama. Setara Institute
menyampaikan tahun 2013 terdapat 292 tindakan pelanggaran yang
terjadi3.
Kedudukan
Perda Bernuansa Agama
Dalam
suatu hirarki perundang-perundangan, Peraturan Daerah menempati
posisi paling bawah di mana di atasnya terdapat Peraturan Presiden,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Pengganti Undang-Undang,
Undang-Undang, Tap MPR, dan UUD NRI 1945. Jika melihat dalam hirarki
tersebut sah-sah saja adanya Peraturan Daerah untuk mengatur jalannya
pemerintahan suatu daerah. Apalagi Pemerintah daerah dan DPRD memang
memiliki kewenangan itu. Namun jika kita lihat secara materi,
Peraturan daerah bernuansa agama bertentangan dengan aturan yang
diatasnya yaitu Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 10 UU No 32 tahun 2004 telah
diberikan batasan-batasan urusan pemerintahan yang tidak boleh
dilakukan atau diurusi oleh pemerintah daerah, yang antara lain:
urusan politik luar negeri, pertahanan, pertahanan, keamanan,
yustisi, moneter, fiskal nasional dan agama. Dari bunyi pasal itu
sangatlah jelas bahwa urusan agama menjadi kewenangan pusat. Sesuai
asas lex
superiori derogate lex inferiori yaitu
muatan peraturan yang tinggi mengesampingkan peraturan yang rendah,
maka bisa disimpulkan bahwa perda yang bernuansa hukum tidak sah.
Namun
hal berbeda disampaikan oleh mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan
Zoelva. Dia mengatakan bahwa perda yang bernuansa agama atau sering
juga disebut perda syariah tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan di atasnya karena perda tersebut sebenarnya bukan
Perda syariah melain Perda ketertiban umum. Dia menambahkan bahwa
adanya Perda bernuansa agama sebagai sebuah wise
dari masing-masing daerah sebagai perwujudan Bhinneka
Tunggal Ika.
Konteks
Ke-Indonesia-an
Indonesia
memiliki 1331 suku, ada 6 agama yang diakui pemerintah dan 245 aliran
kepercayaan. Angka itu menggambarkan betapa beragamnya konteks sosial
di Indonesia. Norma atau kaidah atau adat istiadat yang dianut juga
memiliki perbedaan. Sebagai contoh alkohol, di suatu tempat hukumnya
dilarang, namun di tempat lain bisa jadi justru menjadi alat untuk
upacara atau peribadatan seperti di agama Katholik. Juga contoh di
Manokwari yang ingin menetapkan kota Injil, jika raperda itu disahkan
maka dikhawatirkan akan terjadi benturan antaragama. Dengan situasi
keberagaman itu maka akan sangat riskan jika diterapkan hukum yang
hanya mengakomodir satu agama saja. Hamdan Zoelva menyetujui adanya
peraturan bernuansa agama bagi daerah yang memang khas agama tertentu
dengan catatan tidak ada pemaksaan bagi agama lain di tempat itu.
Namun bisa kita bayangkan jika banyak wilayah di Indonesia merasa
memiliki ke-khas-an terkait agama tertentu lalu menuntut penerapan
agama itu seperti di Aceh. Maka akan berkembang sentimen identitas
keagamaan di masing-masing daerah dan mengaburkan hukum nasional.
Belum lagi kita menghadapi multitafsir dalam setiap ayat atau ajaran
agama. Jangan kan yang berbeda agama, dalam satu agama yang sama pun
sangat mungkin terjadi perbedaan tafsir. Semisal tempat sholat Jumat
dalam Islam. Golongan FPI mengatakan boleh sholat Jumat di jalan,
sedangkan golong an Nadhatul Ulama menganggap tidak sah.
Rekomendasi
Perlindungan
dalam kebebasan menjalankan agama sesuai keyakinan masing-masing
sudah diatur dalam konstitusi UUD NRI 1945. Jadi tidak perlu lagi
diatur lebih rinci di dalam Peraturan Daerah. Sedangkan bagaimana
cara beribadah dan menjalankannya seharusnya diatur sendiri oleh
masing-masing agama agar tidak berbenturan dengan agama lain yang
dalam hal ini masuk hukum privat. Keberadaan Peraturan Daerah yang
bernuansa agama yang sekarang ada, harus dibatalkan karena
bertentangan dengan peraturan di atasnya dan rawan menimbulkan
konflik antar agama.
1Majalah
Tempo, Edisi 4 September 2011
2ibid
Komentar
Posting Komentar