WACANA REVISI PP TENTANG REMISI

Relevansi Argumentasi Menkumham Dalam Rencana Revisi Peraturan Pemerintah nomor 99 tahun 20121
Oleh: Guntoro, Johanna Purba dan Siti2




Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasona Laoly menggulirkan wacana revisi Peraturan Pemerintah nomor 99 tahun 2012 tentang tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan3. Peraturan Pemerintah itu memuat tentang tata cara pemberian remisi bagi narapidana, salahsatunya narapidana dengan kejahatan luar biasa atau extraordinary crime (korupsi, narkotika, terorisme). Narapidana dengan kejahatan luar biasa diberlakukan pengetatan persyaratan dibanding dengan narapidana lain, salahsatunya adalah mensyaratkan bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya4. Di bagian menimbang dalam peraturan pemerintah itu disebutkan bahwa pengetatan pemberian remisi dilakukan dengan pertimbangan tindak pidana korupsi, narkotika dan terorisme mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara, korban yang banyak, dan menimbulkan ketakutan yang luar biasa di masyarakat serta untuk tujuan memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Menkumham menganggap Peraturan Pemerintah tersebut menyebabkan hampir di semua lapas mengalami kelebihan kapasitas, melanggar kesetaraan narapidana dan bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya khususnya UU nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan5. Dengan argumentasi itu Menkumham berencana melakukan revisi PP no.99 tahun 2012 yang salahsatunya adalah menghapus syarat justice collaborator. Berdasar argumentasi yang disampaikan Menkumham itu, tulisan ini mencoba akan mengkaji relevansinya dengan rencana revisi Peraturan Pemerintah nomor 99 tahun 2012.


3. “Justice Collaborator harusnya di ranah pengadilan, bukan dalam Peraturan Pemerintah”
Pernyataan di atas adalah pernyataan Menkumham yang menilai persyaratan justice collaborator dalam PP nomor 99 tahun 2012 menyalahi UU no.5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dan UU No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang mengatur bahwa justice collaborator hanya bisa diberikan pada saat proses peradilan6. Menurut Miko, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Peraturan Pemerintah nomor 99 tahun 2012 tidak melanggar undang-undang karena hanya mengatur teknis pelaksanaan dari undang-undang yang mengamanatkan. Terkait norma baru yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah itu yaitu justice collaborator, miko mengusulkan agar dimasukan ke dalam Undang-Undang nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan7. Menkumham akan menghapus pasal justice collaborator di dalam UU no.99 tahun 2012. Artinya, Menkumham akan menghilangkan salahsatu syarat pengetatan remisi. Akantetapi jika Menkumham memindahkan pasal justice collaborator dalam UU no.12 tahun 1995 maka artinya akan memperkuat norma itu.


Kesimpulan
Berdasar dari analisis di atas dapat dilihat bahwa argumentasi yang disampaikan oleh Menkumham tidak relevan dengan tindakan yang akan diambil yaitu revisi PP no.99 tahun 2012. Peraturan Pemerintah itu telah juga diperkuat dengan adanya putusan Mahkamah Agung Nomor 51 P/HUM/2013 yang menyatakan PP no.99 tahun 2012 tidak ada unsur diskriminatif. Sebagai rekomendasi, Mahkamah Agung dan Kementrian Hukum dan Ham sebaiknya memberlakukan secara masif proses rehabilitasi bagi pengguna atau pecandu narkoba untuk mengurangi jumlah narapidana di lapas dan mengusulkan kepada DPR RI agar memasukan norma justice collaborator ke dalam UU.no12 tahun 1995. Langkah ini akan lebih efektif dalam mengurangi kelebihan kapasitas lapas dengan tetap menjamin semangat pemberantasan korupsi, narkotika dan terorisme.
1 Kajian hukum atas rencana revisi pp 99 tahun 2012
2 Mahasiswa STIH Jentera angkatan 2016
4 Pasal 34A, ayat 1, butir a, PP No.99 tahun 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

REVIEW BUKU "MENUJU GERBANG KEMERDEKAAN"

DI/TII

MUNIR